Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Jumat, 26 Agustus 2011

Menapaki Jalan Kehidupan

Jumat, 26 Agustus 2011
0 komentar
Aku sedang menapaki jalan kehidupanku dengan hela nafas, keluh dan jenuh. Sunggguh terasa berat kaki ini melangkah. Raga ini terasa lemah tertatih. Kubawa saja kaki ini melangkah tanpa arah sebelum akhirnya terhenti sejenak di sebuah tempat pembuangan sampah akhir.

Kupandangi seorang pemulung tua yang dengan tekun memungut gelas – gelas air serta plastik – plastik bekas. Kulihat wajahnya basah penuh peluh. Tak sedikitpun ada rasa jijik terpancar dari wajahnya, apalagi lelah dan jengah.Padahal matahari dia atas sana sedang marah pada manusia yang hendak menguras habis sinarnya. Kuhampiri Bapak tua itu dan kutanya,

“Pak, tidak kah Bapak lelah di tengah terik surya yang murka ini?”
Bapak tua itu memalingkan wajahnya sejenak padaku dan bergumam,
“Hmmmm, bagaimana mungkin aku merasa lelah sedang Tuhan Sang Penguasa tak pernah letih menghitung tiap tetes peluh yang jatuh dari wajah dan tubuhku.”

Terpana aku mendengar jawaban yang luar biasa dari bibir lugu penuh kerut termakan usia. Kutinggalkan ia kembali pada kesibukannya sambil merenungkan jawaban penuh makna. Lalu kuteruskan langkahku, menapaki jalan kehidupan yang makin terik dan tak bersahabat hari itu.

Aku terhenti di sebuah pasar. Kuamati para kuli panggul menurunkan karung – karung beras dari atas truk untuk ditaruh di pundak kawan mereka. Mataku terpaku pada seorang ibu renta yang sedang mengumpulkan remah bulir beras yang tercecer dari karung-karung yang diturunkan para kuli panggul.

Tak paham apa yang dilakukan si ibu renta ini, kuhampiri dia,

“Ibu, apa yang sedang ibu lakukan?” tanyaku. Si ibu renta ini menatapku yang sedang keheranan, lalu jawabnya,
“Mbak saya sedang memungut satu persatu rejeki kehidupan.”
Kurang paham maksud si ibu renta ini, kubertanya lagi padanya,
“Ibu, apa maksudnya? Mengapa ibu memungut bulir beras yang sudah jatuh dan kotor itu?”

Dengan sabar si ibu renta ini menjelaskanku,
“Mbak, jika seorang renta macam aku, yang tak berpendidikan dan punya ketrampilan, maka cukuplah bagiku memungut satu persatu remah bulir beras yang Tuhan jatuhkan untukku.”
“Tapi, apakah itu cukup bagi ibu?” sergahku yang mulai mengerti apa yang dilakukannya.

Ibu renta ini tersenyum penuh arti padaku, dan berkata,
“Mbak, aku percaya Tuhan telah mencukupkan rejekiku untuk hari ini. Dia menghitung kerut di wajah juga airmata kepedihan yang jatuh dari mataku. Tak kan mungkin dibiarkanNya aku kekurangan,” lanjutnya.

Tercekat hatiku, mendengar jawaban ibu renta yang penuh optimisme ini. Aku mengagumi imannya yang luar biasa akan kebaikan Tuhan. Aku malu pada diriku sendiri, yang selalu meragukan kasihNya yang tak pernah berkesudahan.

Kulanjutkan lagi langkah kakiku di jalan kehidupanku. Kali ini dengan rasa dan semangat yang berbeda…..

Semarang 25 Agustus 2011
23.00 saat jalan kehidupan terasa panas, kering dan berdebu menyesak raga dan semangatku


read more

Rabu, 24 Agustus 2011

Mendidik Bukanlah Hal Mudah

Rabu, 24 Agustus 2011
0 komentar
Mendidik bukanlah hal mudah. Hari ini aku belajar banyak hal tentang mendidik anak.

 Sulungku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Pelajar. Ini adalah tahun kedua. Tahun lalu ia kost. Dan tahun ini dia memutuskan mengontrak sebuah rumah. Kupikir semua berjalan baik-baik saja tak ada masalah, karena aku menganggap sulungku sudah dewasa. Sampai suatu hari terdengar telepon berdering.

“Selamat malam, bu. Saya pak Heri. Bapak kos putra ibu” terdengar suara diseberang telepon.
 “Oh ya, selamat malam, pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku berdebar-debar. Ada apa gerangan si Bapak kos menelpon. Padahal sulungku sedang berada di Jakarta. Dia sedang kugembleng untuk belajar menghadapi hidup yang keras dan penuh tantangan ini.

 “Begini bu, putra ibu ini pindah kos, tapi kok ada barang yang bukan miliknya dibawa,” kata Bapak kos ini dengan suara yang mulai terdengar emosional.
 Aku tercengang mendengar berita itu. Lalu kataku sambil manata hati,
” Baik pak, coba saya tanyakan dulu pada putra saya. Nanti bapak saya kabari.”

Bergegas aku menelpon sulungku, mencari kejelasan permasalahan yang ada. Dia menerangkan bahwa memang dia membawa kasur itu karena di rumah kontrakan yang baru tidak ada fasilitas itu. Aku tahu bahwa sulungku tidak bermaksud mencuri atau melakukan tindak kriminal. Dia hanya bertindak praktis saja. Tapi tidak demikian dengan pemikiran si bapak kos. Kupikir ini juga salahku karena aku sering kali meminta sulungku untuk berhemat masalah keuangan, sehingga ia takut untuk membeli barang dengan nilai yang cukup besar.

 “TVku saja masih kutinggal disana kok, bu,” lanjut sulungku.
Tapi aku menjawabnya dengan keras,
” Kak, tahu nggak bahwa kamu itu sudah melakukan pencurian, tindak kriminal! Mengambil barang yang bukan milikmu!”, sahutku dengan nada tinggi.

Sulungku diam saja. Mungkin dia baru menyadari kesalahannya. Aku yakin dia tidak berpikir sejauh itu. Lalu aku meminta dia menelpon si bapak kos dan menyelesaikan segala permasalahan saat dia pulang ke Semarang nanti.

Setelah berbicara dengan sulungku, segera aku menghubungi kembali si bapak kos dan menerangkan permasalahan seperti apa yang diceritakan sulungku. Tapi sepertinya si bapak kos ini tidak terima dan masih saja terus mengejar. Ia seolah menyatakan aku sedang menyembunyikan seorang tersangka. Weleh weleh. Desakan dia membuat aku sedikit emosi dan aku berkata,

“Pak, jika bapak tidak sabar, sulung saya menitipkan TV pada temannya, silahkan bapak jual sebagai ganti kasur bapak itu. Jika masih kurang bilang saja dan beri saya nomor rekening bapak, kataku jengkel.”
Aku tak mengerti apa mau si bapak kos ini. Akhirnya telepon ia tutup dengan suara keras. Hah! Sabar….sabar…..

Seminggu kemudian si Bapak kos ini menelpon kembali dan menanyakan keberadaan sulungku. Untung saja yang menerima pembantuku. Kalau tidak, sudah pasti ia kudamprat. Ha ha ha….Sekembalinya sulungku dari Jakarta, aku segera menyuruh ia kembali ke Yogya untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Tapi ia menjawab bahwa ia akan ke Yogya sekalian mengikuti remidi. Dan kemarin adalah saat remidi itu. Aku berpesan padanya agar menyempatkan diri ke kos. Dan pesan itu kuulangi berkali-kali, sampai sulungku sedikit emosi.

Kupikir semua permasalahan tentang kos sudah beres. Sulungku sudah menyelesaikan masalahnya dengan ksatria dan mengakui kesalahannya.
Tapi……
Kringgggggggggggggggggggg. Terdengar telepon berdering.

”Selamat pagi, bu. Bagaimana dengan putra ibu. Mengapa belum datang kesini?, terdengar suara di ujung telepon.
Aku menjawab dengan tenang,
“Oh ya, pak. Kemarin dia baru berangkat dan mungkin baru hari ini. Karena kemarin ia harus mengikuti remidi di kampus”
“Baik bu, saya tunggu putra ibu,”  jawab si bapak kos bergegas menutup telponnya, mungkin takut ku damprat. Ha ha ha….

Aku segera mengecek apakah sulungku sudah menyelesaikan permasalahan ini. Ternyata aku dibuat kaget dengan jawabannya.
“Bu, ini aku sudah dalam perjalanan pulang Semarang, kasurku di pinjam teman dan akan dikembalikan besok. Hari ini dia sedang repot. Neneknya meninggal, Aku sudah bilang, temanku yang lain untuk bicara pada bapak kos” katanya.

Plakkkkkkkkkkkkkkk! Seperti ada tamparan keras di pipiku. Ah….mengapa, anakku jadi pengecut begini. Mengapa dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia telah berbuat salah.


 Kembali emosiku memuncak mendengar jawaban yang terdengar menyepelekan ini. Aku sungguh – sungguh tak mengerti dengan cara berpikirnya. Ku ambil nafas panjang. Dan aku merunut kembali. Mungkin aku yang salah. Aku tak mengajarinya bagaimana seharusnya seorang lelaki. Aku tak memberikan ruang baginya untuk menjadi seorang ksatria. Aku tak mengajarinya bahwa melakukan sebuah kesalahan bukanlah suatu dosa. Aku tak mengajarinya bahwa mengakui kesalahan lebih baik dari pada melarikan diri dari sebuah kesalahan.

Ya ! Ini semua salahku. Segera kuambil HP ku dan menelponnya kembali.
“Kak, ibu tak mau tahu. Kamu kembali ke Yogya, temui bapak kos, mengaku salah dan kembalikan kasurmu itu. Ibu tak punya anak seorang pengecut!. Ibu tak segan menyetujui bapak kos mu yang mengancam akan melaporkanmu ke polisi karena telah melakukan tindak kriminal, mengerti?”

Aku yakin bahwa setelah itu sulungku telah belajar banyak hal dari kesalahan yang mungkin ia tidak bermaksud untuk melakukannya. Terbukti si bapak kos tidak lagi menelponku. Semoga semuanya sudah beres. Dan yang terpenting bagiku aku sudah menanamkan pada sulungku, pelajaran hidup yang tidak ia dapatkan di teori - teori sekolah.

Membentuk karakter seorang anak tidaklah mudah. Segala yang kita pikirkan telah berjalan dengan baik ternyata tidak selalu demikian. Sebaiknya kita mawas diri dan belajar terus untuk semakin baik…..

Kutulis catatan ini sebagai pelajaran buatmu nak, bukan untuk menyudutkanmu. Agar menjadi pelajaran buat banyak orang juga.

Semarang 6 Agustus 2011




read more

Tuhan Selalu Mengirim Penolong Untukku

0 komentar
Hari belakangan ini aku sedang berlatih menulis. Setelah aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang cukup menguras pikiran dan emosiku. Sasaran pertama yang ingin kutulis tentu saja orang-orang yang aku cintai. Sudah habis mereka semua kutulis, sekarang aku mencari siapakah sasaran berikutnya yang akan kujadikan korban untuk proyek latihan menulisku, menuangkan segala macam ide dan perasaan syukur karena aku dicintaiNya.

Tak jauh – jauh proyekku berikutnya adalah pembantuku. Namanya, Sumiati. Ia sudah mengabdi padaku seumur anakku yang pertama. Jadi kurang lebih sudah 20 tahun ia ikut aku. Sumiati, sosok yang sederhana. Kalau aku tidak salah, umurnya kurang lebih 50 tahun. Tapi ia tidak suka dipanggil bu. Ia suka dipanggil mbak. Anak – anakku memanggil dia mbak UU. Ia tak pernah bercerita apakah ia sudah menikah atau belum. Tapi yang kutahu ia dulu pernah didatangi pacarnya. Hanya beberapa kali saja. Setelah itu tak terdengar kabarnya. Pernah suatu ketika aku melihat KTPnya. Disana sih tertulis ‘menikah’, tapi entahlah. Kupikir itu bukan urusanku. Aku takut itu menyinggung perasaannya.

Seringkali kalau melihat Sumiati bekerja tak kenal lelah, seperti melihat cinta Tuhan padaku. Tuhan yang berjanji akan mengirim penolong untukku. Memang demikian. Tak kubayangkan jika rumahku tanpa dia.

Sumiati merawat anak-anakku dengan tulus. Ia mencintai mereka seperti anaknya sendiri. Pulang pun hanya sekali saja tiap tahunnya, yaitu saat lebaran. Selebihnya tak pernah ia ijin pulang, kecuali jika ada urusan keluarga yang sangt penting.

Para tetangga dan saudara selalu mengatakan, betapa beruntungnya aku mempunyai dia. Hmmmm, ya aku memang beruntung karena Tuhan selalu mengirimkan orang-orang yang terbaik dalam hidupku.Terimakasih Tuhan....


Ungkapan syukurku padaMu, yang selalu mengirimkan penolong untukku
Smg, 3 Agustus 2011



read more

Rindu

1 komentar
Berdebar hati...
Menanti diri MU, berada dalam hangat dekapMU.

Sekian lama diri ini tak mengerti
KehendakMU yg trsirat dalam mimpi mimpi malamku...

Mungkinkah ini cuma kerinduanku
Ktdak mampuan n kbodohanku atas kehendakMU...

Aku ingin brada dalam dekapMU
Dalam mesra gendong punggungMU
Ketika Engkau mbawa ku ke padang rumput hijau
Ketika Engkau menuntunku menyebrang sungai
Ketika Engkau membisikkan pesan yg tak dapat kucerna
Indahnya saat saat mesra itu...
Ketika hanya Kau dan aku

Siapakah aku sehingga KAU mau hadir dalam saat-saat ku

Moga aku layak menerima hadirMU yg nyata saat hanya KITA brdua...Ya hanya aku n KAU.

Layak kan aku,
Mampukan aku...
Gerak kan hatiku ...Amin

Smg 18 Nov 09 , persiapan hati k Cikanere

read more

Tak Usah Kau Risau

0 komentar
Ingin kupanglingkan wajahku...
Karena kutak mampu melihat redup matamu
Remuk hatiku, mendengar pecah tangismu
Membahana menembus langit
Teriakkan :
"Tuhan, mengapa aku?????"


Ah, anak-anakku...
tak usah kau risaukan selembar kertas itu
Karena dunia terus berputar walau kegagalan menghadangmu
Yakinlah sayang...
Ini hanyalah sebuah keberhasilan yang tertunda...
Tegakkan kepalamu
Usaplah airmatamu
Kibaskan duka yang menggelayut hatimu
Mari ayunkan langkah bersama
Songsong dan tatap masa depan penuh ceria
Kegagalanmu tak pernah sia-sia
Bagai batu keras yang kan mengasah pisau cita dan asamu
Mari bersama doa dan cintaku....
Bulatkan hati singkirkan kerikil ini...
Percayalah rencanaNya melampaui semua risaumu

Mari bersamaku anak-anakku....
Jika lelah menderamu, bersandarlah
Ibu kan datang
Genggam jemarimu
Menguatkan langkahmu dan menghapus peluhmu...
Karena....
Tugas berat menanti di depanmu
Mari anak-anakku
Bergegas lanjutkan langkah ini
Ibu bersamamu.....



Dipersembahkan untuk semua siswa-siswi yang belum beruntung UAN 2010
Semarang, 26 April 2010

read more

Cinta Sang Mempelai dan Cinta Sang Bapa

0 komentar
Iringan paduan suara megah mengiring Sang Pengantin memasuki altar. Tebar senyum keduanya mempesona memancarkan kebahagiaan.

Terdengar Imam bertanya, apakah engkau bersedia mencintai pasanganmu baik dalam suka maupun duka, untung maupun malang ? Dan dengan pasti dan mantap keduanya mengatakan : Ya saya bersedia. Kemudian Imam mengatakan apa yang telah dipersatukan Allah TIDAK BOLEH DICERAIKAN OLEH MANUSIA.

Kedua mempelai meninggalkan altar dengan penuh kebahagiaan. Hari-hari terlewati berganti bulan berganti tahun dan seterusnya. Hingga suatu saat badai demi badai mengikis rasa cinta yang akhirnya membuat mereka tak mampu mempertahankan janji di altar suci.

Sampai suatu saat Tuhan berbicara pada salah satu mempelai itu :

“AnakKu,…….mengapa Engkau mengeraskan hatimu?”
Jawab salah satu mempelai itu,
“Tuhan, aku sudah tidak sanggup lagi. Aku sangat mengasihinya, dan juga anak-anak tapi aku tidak lagi ingin menjadi pasangannya. Sudah cukup bagiku sakit yang dia torehkan dihatiku. Sudah cukup penderitaanku, menerima penghinaan, perlakuan dan pelecehannya. Dia tak mungkin berubah. Justru dia akan menjadi pribadi keras dan keji jika terus bersamaku” dalihnya.

Tuhanpun menjawab,
” AnakKu, tak tahukah engkau, bahwa Aku pun menghadapi hal yang sama ketika Aku menghadapimu, hingga Aku mengirimkan AnakKu yang Kukasihi. Dia disesah oleh dosamu, terluka karena pengingkaranmu, jatuh oleh kekerasan hatimu, dan akhirnya mati untukmu yang tak berbelas kasih. Lupakah engkau pada janjiKu yang akan mengirimkan seorang Penolong bagimu? Untuk itu pulalah Aku mengirim dirimu sebagai penolong bagi pasanganmu, orang yang telah kau pilih untuk kau cintai dan engkau pesembahkan di altar suci. Masihkah engkau meragukan Aku? Ingatlah, rencanamu bukanlah rancanganKu. Engkau kupanggil untuk menjadi kudus, karena Aku Kudus dan terlebih mengasihimu.  Sekarang, terserah padamu, jika engkau mau mengandalkan kekuatanmu sendiri. Tapi ingatlah : Apa yang telah KUpersatukan tak dapat diceraikan oleh manusia…

Sayup-sayup terdengar kembali suara-suara serdadu berteriak dan memecut Sang Anak yang kembali jatuh dan berpeluh darah….DIA tersungkur sambil menatap sang mempelai itu dan terbata berkata : AKU... MENCINTAImu apa pun yang telah kau lakukan padaKU………

Semarang, 26 Mei 2010
Untuk saudaraku yang aku sayangi

read more

Kutunggu Engkau di Ujung Bulir Airmata Ini

0 komentar
Malam gelap serasa tiba....
Saat jiwa terasa hampa...
Dan tak mengerti mengapa...
Dimanakah Engkau wahai kekasih jiwa?
Kucari - cari di lorong hati nan sepi ...
Di derai tawa dan sembilu perih hati...
Tak jua ku temukan Engkau Sang Penguasa Cinta...
Bodohkah, bebalkah atau dungukah hamba?
Tuli, buta atau keras hatikah saya?Wahai Sang Pemilik Jiwa...
Jawablah tanya hamba
Yg tak mengerti keresahan hati
Serta kegundahan yg tak bertepi ini...
Hamba menunggu di ujung bulir airmata ini
Karena belai n usap cintaMU
Kan menjawab dalam diam
Dan kebisuan keperihan hati yg trus meronta ini...
Kutunggu Engkau diujung bulir airmata ini...

Smg 3 Juli 2010.Meitasari Septoro

read more

Setiaku

0 komentar
Tuhan...
Ampuni aku yg tak setia padaMU...
Yg seringkali berpaling pada yg kasat...
Aku lupa menyapaMU, pdhl ku tahu ...
Engkau menungguku diujung pembaringan...
Engkau menatapku penuh rindu akan celoteh dan keluhku...

Maafkan aku Bapa karena setiaku hanya seumur hitungan hari dalam minggu...
Terbit dan terbenam bak mentari pagi...

Tapi sungguh Bapa...
Aku ingin setia mencintaiMU...
Walau setia ini bagai angin
yg datang dan pergi

Namun kupercaya, cintaMU kan memanggilku kembali...
Memeluk dan menggendongku
pulang ke surga...Abadi...

Meitasariseptoro
16.07.2010 - smg

read more

Hanya Dalam Hati

0 komentar
Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....
Aku tahu sepi tak bisa dibeli hanya dengan pelukan saja,
Tapi cinta, ingatlah slalu
Dibawah payung merah ini
Engkau dan aku slalu bersama
Merenda hari - hari manis
Dengan kata - kata dan pelukan mesra
Ini cukup buatku mengerti indahnya asmara
Cukup untuk ku mengerti akan keagungan cinta
cinta yang tak pernah bisa memiliki
cinta yang tulus dan sejati, yang cuma bisa dirasa dihati...

Tapi....
Mungkin itu tak cukup buatmu ya Cintaaaaaaaaaaaa?
Karena kutahu dirimu ingin menggenggamnya erat
menjadi pijar - pijar yang terasa hangat dan nyata
bukan hanya dalam mimpi dan khayal saja....

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Sudah kukatakan padamu
bahwa akan kugenggam erat payung ini
sampai engkau mengatakannya "CUKUP"

Kutahu, karena setelah itu
kita tak kan lagi berlari di pematang
tak kan lagi berteduh di bawah pohon pisang selagi hujan datang

Ah......aku tak tahu apakah aku mampu
Tapi aku sudah berjanji padaNya
Inilah yang bisa untuk kulakukan
Saat kubisikkan padaNya bahwa aku jatuh cinta....

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Selalu ada air bening yang menggelantung di mata ini
Yang bercerita tentang perihnya memeluk angin
Ngilunya berdiri di tanah dingin yang meretak ini...

Tapi cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Tak perlu engkau khawatir
karena dengan mantap akan
segera kuhapus jika bulir air itu sempat membasahi tanahmu...

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Dibawah payung merah ini
Kan kuingat dan kuperam selalu keindahan simfoni kita
Yang selalu kita senandungkan bersama
Meski lirih dan kadang tanpa suara....

Ah.....
Semoga....
Engkau....
Bahagia ...

(Hanya untukmu, yang selalu mengeja senandung simfoni musim semi bersamaku, kala petang mulai menyapa malam)


read more

Dito Anakku

0 komentar

Dito adalah anak pertamaku. Aku bangga padanya. Nama lengkapnya adalah Dimeitrianus Aninditya Pratama. Aku mengambil nama itu karena aku mempunyai harapan Dito akan menjadi anak yang putih hatinya. Dito tumbuh menjadi anak yang cerdas dan manis. Di Sekolah Dasar prestasinya sangat cemerlang. Namun menjadi pelajaran buatku, ada hal yang salah dalam pola belajarnya. Hal  ini kuketahui saat ujian akhir, nilainya tidak memuaskan. Tidak sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Belakangan ku tahu bahwa aku salah dalam menerapkan pola belajar. Aku selalu memanjakannya dengan cara membacakan atau bercerita jika dia menghadapi ulangan. Ternyata hal ini berdampak Ia malas membaca soal. Saat kuevaluasi hasil ujiannya ku cocokkan nomer demi nomor ketahuan bahwa dia tidak membaca soal hingga titik. Ya, aku terlalu memanjakannya.

Prestasi Dito terus menurun dari SMP hingga SMA, walau dalam hati kupikir ah tak pa, toh ia bersekolah di sekolah favorit. Sampai akhirnya ia tidak naik kelas di kelas satu SMA. Dia cukup shock, tapi jauh hari aku sudah mengingatkan dia akan pola belajar dia yang terlalu santai. Aku tak marah, walau sesungguhnya aku kecewa padanya. Karena bagiku belajar bukan hanya melulu tentang kesuksesan. Belajar juga tentang sebuah kegagaln. Dan Dito saat itu sedang menghadapinya. Aku tak boleh membuatnya semakin terpuruk, aku akan menopang dia. Kuhibur dia,
”Kak, tak apa kegagalan adalah sebuah sukses yang tertunda. Percayalah, Tuhan mempunyai rencana yang indah untukmu. Kamu, akan mempunyai teman yang lebih banyak, dan juga belajar lebih matang. Sekarang, bagaimana kamu melangkah ke depan. Pikirkanlah! Kamu tak mampu belajar di sekolah ini, atau belajarmu kurang maksimal. Renungkan malam ini. Jika kamu merasa tidak mampu, kita pindah sekolah dengan catatan naik, atau kamu mau tetap disini mengulang lagi. Ibu tunggu jawabannya besok pagi.”
Keesokan paginya, aku cukup bernafas lega. Karena aku tak melihat wajahnya yang murung. Syukurlah, kataku dalam hati. Dito menghampiri aku, katanya,
“Bu, biarlah aku mengulang lagi di sana. Aku akan belajar lebih keras lagi.”
Aku menghela nafas. Di satu sisi aku bangga, dia tidak memilih jalan pintas. Dia memilih untuk menjalani proses hidupnya. Walau harus menanggung malu. Ya, banyak teman-temannya tak percaya. Karena Dito anak yang sangat cemerlang dahulu. Namun, disisi lain aku harus menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang tentu saja mengganggu menurutku. Dan pastinya masalah biaya juga membuat aku cukup berhitung, berarti kerugian satu tahun untukku. Tak apa. Aku percaya bahwa Tuhan telah menyediakan solusi bagi segala perkara dalam hidupku.

Sampai akhirnya saat kelulusan yang dinanti – nanti. Aku tenang – tenang saja. Aku cukup percaya bahwa Dito pasti mampu. Dan benar saja, ia lulus. Masalah berikutnya adalah masalah kuliah. Masalah biaya cukup membuat ku mengambil kalkulator. Karena dengan 4 anak yang semua bersekolah di sekolah swasta favorit, pasti menguras dompet juga. Tapi sekali lagi aku mempercayakan segala perkara pada Tuhan. Dan suatu pagi, ia menghampiriku sambil melompat – lompat kegirangan. Aku terbengong – bengong. Lalu setelah tenang, ia menunjukkan padaku SMS dari Universitas Gajahmada, yang memberikan ucapan selamat bahwa ia diterima. Pecah juga airmata bahagiaku. Aku bangga padamu, nak, batinku. Terimakasih Tuhan, semua indah pada waktunya.

Pengalaman memanjakan dalam urusan belajar membuatku waspada. Hingga aku berencana mengajari dia tentang kerasnya kehidupan. Saat liburan semester ini, Dito libur panjang hampir 3 bulan lamanya. Inilah kesempatan untuk mendidiknya. Kebetulan ada saudara menikah di Jakarta. Terimakasih Tuhan rencanaku telah KAU dukung.

Adikku bekerja di Jakarta. Ia bekerja di bidang yang kebetulan sedang dipelajari Dito, yaitu komunikasi. Kebetulan pula, Dito pernah memenangkan festival film di sekolahnya. Ia mendapat penghargaan untuk kategori iklan film. Prestasi yang cukup membanggakan.

Rencanaku mulus berjalan. Adikku setuju kutitipi Dito.  Dia sudah menghubungi temannya. Terimakasih Tuhan, teman adikku ternyata juga setuju dan mendukung. Dia bersedia mengajari Dito. Selalu saja ada tangan – tangan Tuhan yang membantuku mewujudkan impian – impian kita.

Saat pulang Semarang tiba. Aku tahu Dito gelisah. Berkali-kali ia bertanya,
“Bu, aku di Jakarta sampai kapan? Berapa lama? Apa yang harus kukerjakan?. Aku tahu, ia khawatir hidup di Jakarta yang katanya kejam. Macet dimana-mana yang bikin pusing. Apalagi dia tak tahu jalan. Aku hanya menjawab,
“Kita lihat saja nanti.”
Sebelum masuk kereta aku berkata padanya,
“Kak, mungkin kamu menganggap ibu kejam, membiarkanmu sendiri di kota sebesar ini. Tapi percayalah, ibu sedang mengasahmu menjadi manusia  yang siap dan tangguh menghadapi segala tantangan. “
Dito hanya tersenyum kecut, mendengar kata-kataku. Saatnya kereta berangkat menuju Semarang. Dito sudah dijemput suami adikku. Yah…, siapkan hatimu nak, bisikku dalam hati. Dia melambaikan tangan dengan tatapan dan senyum yang nampak khawatir. Ah, biarlah….Malaikat pelindung akan menjagamu, nak.
Keesokan harinya, aku chatting dengan adikku. Dan bertanya padanya, keadaan Dito. Aku bertanya padanya, pengarahan dan bekal apa yang sudah disampaikan pada Dito. Adikku hanya tertawa dan berkata, tidak ada. Aku hanya menunjukkan cara pulang naik angkot saja. Tadi kuantar dia ketempat temanku dan sudah kuberi uang saku Rp.20.000,00 juga dia kusuruh bawa uang Rp.50.000,00. Hah…..???? Ternyata adikku lebih kejam dari ibunya. Tega sekali dia keponakannya dilepas begitu saja. Lalu aku berpesan macam – macam pada adikku. Kukatakan bahwa Dito adalah anak yang cukup ringkih, cepat capai, pendiam, pasrah dan menerima tanpa pernah menuntut apa-apa, bla bla bla…. Adikku tertawa saja. Biarlah kalau ada apa – apa kan dia pasti bicara. Ternyata ibunya tak tega juga…. Ha ha ha…
 Ini adalah hari kedua ia belajar. Kata adikku, ia sedang belajar menjadi event organizer. Dia akan diajak berkeliling hingga larut malam, dan kemarin di hari pertamanya, ia kembali ke rumah pukul Sembilan malam. Naik angkot pula. Belum makan malam pula. Ha ha ha….Ujian yang cukup berat juga dihari pertama. Tak apa, belajarlah, nak…. Ibu mendoakanmu. Bersakit – sakit dahulu, bersenang – senang kemudian. Selamat belajar HIDUP, anakku….

25 Juli 2011
Terimakasih buat Tante Gendit n MAs Dimas, Om Priyo, Mama Vivien dan semua saja yang sudah menjadi 
kepanjangan tangan Tuhan untuk Dito

Trisadhi, Meita, Dito, Dita, Antya and Advento

read more

Mbak Dita, Sang Dewi Cintaku

0 komentar
Ini cerita tentang putriku, Sang Dewi Cinta, Skolastika Meitrisya Aprodite. Gadis mungil yang cantik dan luar biasa. Semenjak kecil dia selalu melakukan hal – hal yang tak terduga. Bahkan guru TKnya saat itu berkata, “Saya heran lho bu, tiba-tiba mbak Dita sudah bisa membaca.”

Ya, Dita memang luar biasa. Seingatku aku tidak pernah mengajarinya membaca, tetapi tiba – tiba ketika dia melihat sebuah tulisan di jalan ia membacanya dengan lancar. Memang saat dia di kandungan, aku merasakan kelak anak ini akan menjadi anak yang hebat. Walau saat TK sampai kelas 1 SD dia sangat cengeng dan penakut, setiap masuk kelas, ayahnya harus menunggu dia di dalam kelas sampai istirahat I, tapi Dita sarat dengan prestasi. Ia mengikuti berbagai kejuaraan modeling. Oh ya bahkan dia juga pernah memenangi kejuaraan TAE KWON DO. Ia juga pernah menjadi bintang sebuah iklan Jamu. Dari SD kelas 1 – 6, prestasinya sangat cemerlang.

Saat duduk di bangku SMP dia mulai penuh pemberontakan. Malas belajar dlsb. Tapi nilainya tetap saja bagus. Di kelas 3 SMP, Dita sedikit berselisih paham denganku. Permasalahannya adalah masalah jatuh cinta. Ya, gadisku mulai jatuh cinta. Ho ho ho….Tentu saja ini membuatku waspada. Kami sempat berselisih paham, karena aku khawatir pergaulannya akan mengganggu pelajarannya. Tahun itu ia akan menghadapi Ujian Nasional. Aku meminta Dita untuk memutuskan sementara hubungan dengan teman dekatnya itu dan berkonsentrasi pada Ujian. Saat aku berbicara demikian, kulihat wajahnya yang mengeras dan menahan tangis. Hmmmmm, kekerasan hatinya mewarisi watakku. Aku tahu. Melihat dia serasa melihat cermin di depanku. Ya kami lahir di bulan yang sama, hanya selisih dua hari saja. Perbedaannya hanya satu. Dia tidak tomboy seperti ibunya.Dan tentu saja cantik Dita... ha ha ha. Akhirnya walau dengan menahan tangis dia berjanji mengurangi komunikasi dengan teman dekatnya itu. Meski aku juga tahu bahwa ia menjalin hubungan diam-diam di belakangku. Tapi tak apalah,  begitulah masa remaja. Aku jadi ingat sendiri masa remajaku dulu. Ha ha ha…..

Saat kelulusan tiba. Aku yakin Dita pasti bisa. Dan memang begitulah adanya. Dita lulus dengan nilai yang memuaskan. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah memilih Sekolah Menengah Atas. Aku memberikan pilihan padanya 3 sekolah favorit. 1 sekolah swasta, 1 sekolah negeri RSBI, dan 1 lagi sekolah berasrama.    Untuk urusan memilih sekolah  aku memang masih memberikan pengarahan agar anak – anakku mendapat lingkungan dan suasana belajar yang baik dan memadai. Sepertinya Tuhan memang akan membentuk anakku ini menjadi pribadi yang indah. Dita yang keras hati, cuek, malas dan sederet atribut kurang positif dibelakangnya akan dibentuk menjadi manusia baru olehNya. Entah kebetulan, tes disekolah favorit yang mulanya dia masuk jalur prestasi, harus terganjal di tes wawancara. Demikian juga saat kesempatan menggunakan jalur tes reguler, rumah kami dikepung banjir. Alhasil, pupuslah sudah masuk di SMA swasta favorit itu. Ia berkeras tidak mau di sekolah asrama. Tapi aku membujuknya,”Tak apa mbak. Untuk cadangan saja kalau di SMA negeri itu tidak diterima.” Dengan setengah hati dan muka yang masam dia menuruti saranku.

Kami berangkat serombongan untuk mengantar tes Dita di sebuas SMA berasrama sambil rekreasi dan menghibur Dita yang ogah-ogahan. Tes masuk disana dilaksanakan selama 2 hari. Cukup berat memang.   Tapi sekali lagi, Dita selalu menunjukkan kualitasnya sebagai anak yang luar biasa. Dita diterima. Saat kuberitahu bahwa ia diterima, dengan ketus dia mengatakan. Aku tidak mau sekolah di sana. Aku mau di SMA negeri. “Well, I have no objection! Silahkan mencoba,” kataku. Tapi demikianlah Tuhan bekerja. Ada saja kesalahan yang dia buat saat mendaftar secara online. Dan memang Dita tidak diterima. “Inilah saatnya Tuhan membentukmu, nak,” batinku.

Saat masuk sebagai siswa baru tiba. Di sekolah berasrama tersebut Dita mengalami awal yang pasti cukup berat. Dia harus mencuci sendiri. Beradaptasi dengan teman – teman dengan berbagai karakter. Tanpa komunikasi dengan teman dan kerabat selama 1 bulan, dan bulan berikutnya komunikasi hanya di hari tertentu saja. Makan seadanya dan banyak lagi hal – hal berat lainnya. Itulah yang menjadi keberatannya. Tapi yang paling berat kata dia adalah berpisah dengan Vento, anak bungsuku. Memang Dita dan Vento sangat dekat. Mereka sangat saling menyayangi.

Aku teringat sekali, bagaimana Dita tak peduli mengurus baju-baju serta keperluan untuk sekolah di asrama itu. Semua diatur oleh ku dan si mbak uu, pengasuh anak-anak kami. Bahkan sampai masuk gerbang asrama ia tak mau membawa bawaannya. Terlihat sekali dia sangat kesal. Tapi biarlah, aku cukup memahami pergulatan batinnya. Ia masih lima belas tahun saat itu. Harus terpisah dari keluarga, hidup mandiri dan mungkin tanpa kesenangan dan kemudahan seperti yang ia dapatkan di rumah.

Proses hidupnya berjalan. Kehidupan asrama dan pendidikan di sekolah itu telah membentuk dia menjadi manusia baru menurutku. Banyak sekali perubahan sikapnya. Dita yang cuek, sekarang menjadi Dita yang penuh perhatian peduli terhadap kesulitan orang lain. Ada hal yang mengharukanku, yaitu saat Antya , anak ketigaku berulang tahun. (Selama ini komunikasi antar anak – anak ku sepertinya kurang baik. Entahlah mungkin aku yang salah. Mereka jarang bercanda bersama. Untunglah si bungsu, Vento selalu menyemarakkan rumahku dan mempersatukan kakak – kakaknya.) Aku melihat Dita minta si mbak untuk membuatkan mi. Lalu ia memanggil adik – adiknya ke kamar duduk melingkar. Setelah itu ia mengajak adik-adiknya berdoa. Lalu mereka saling menyuapkan mi. Ah,….. perayaan ulang tahun yang sangat sederhana, tapi penuh makna untukku. Aku terharu, dan dalam hati, aku mengucap syukur padaNya, yang telah merubah Sang Dewi Cintaku. Bukan hanya itu saja. Ternyata prestasi demi prestasi diraih Dita. Dia terpilih mewakili sekolahnya, bahkan mungkin propinsi untuk maju dalam Olimpiade Ilmu Sosial. Secara kelompok dia mendapat peringkat 5. Tetapi secara pribadi, Dita meraih predikat DUTA MUDA. Dita juga sering dikirim ke berbagai kejuaraan akutansi mewakili sekolahnya. Dan masih banyak lagi prestasi yang lain. Saat sekolahnya menyelenggarakan program Orientasi Panggilan Profesi, dimana program ini memantapkan cita – cita anak ke depan, Dita ikut seorang politisi. Dia ikut hadir pada sidang di gedung wakil rakyat. Ha ha ha…., ternyata dia menulis ingin menjadi politisi…., benarkah??? Kita lihat saja nanti.

Sekolah hidup Dita terus berjalan. Sekarang ia kelas 3 SMA. Tapi ia belum menentukan akan melanjutkan ke perguruan tinggi mana. Aku berharap ia bisa mendapatkan beasiswa. Yah…..semoga…
Aku percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk Dita.

28 Juli 2011
Mbak Dita : This is special note for you. Don’t be angry,kid!
Mommy just want to share, how proud I am having a lovely girl, like you!
The Twins kata mbak Dita
Dita n Vento
Dita, si Duta Muda Oilimpiade Ilmu Sosial

read more

This is The Man

0 komentar
This is the man I need …
This is the man I want to spend my whole life with …
This is the man that I always want to share my days …
This is the man that never adores me with words …
This is the man that loves me in his silence  …
But I know…
God has chosen the right man for me
To accompany me
Grow up and have great experiences in His world …
Play the games, find the treasures of life...together ...

Thank You God



read more

Gadis Manjaku, Antya

1 komentar
Hmmmmm, senyum cerianya memikat hati. Selalu aku ingin menggodanya. Tiada hari tanpa mengganggu gadis kecilku ini. Juga tiada hari tanpa teriakan – teriakan manjanya saat aku goda. Gadis kecilku yang cantik(seperti ibunya….ha ha ha, jangan marah ya mbak!), Gemma Tristadaksa Acintyasakti. Gadis yang kupanggil Antya. Saat balita, gadisku ini seorang anak pemarah dan keras hati. Segala kemauannya harus dituruti segera. Saat Antya berada di dalam kandungan, aku dalam kondisi kejiwaan yang merasa sendirian. Suamiku bekerja di luarkota. Sementara aku harus bekerja dan mengurus kedua kakaknya. Untunglah ada si mbak, yang membantu dan menemaniku mengurus pekerjaan rumah tangga.

Antya kecil adalah gadis yang lucu. Wajahnya seperti bayi indo. Tanteku sering memanggilnya Michelle. Memang wajahnya seperti pemeran film Michelle yang terkenal saat itu. Seperti kedua kakaknya, prestasi Antya pun tak jauh dari 10 besar di kelasnya.  Puji Tuhan, anak-anakku dikaruniai kecerdasan. Antya juga disukai teman-temannya. Dia pandai menghimpun teman-temannya. Rumah kami tak pernah sepi dari kunjungan teman-teman Antya dan juga telpon yang selalu berdering mencarinya, hanya untuk sekedar bertanya, besok pakai baju apa? Ada PR apa? Ha ha ha….

Namun demikian, Antya adalah seorang gadis pemalu dan kurang percaya diri. Dia selalu merasa kurang dan tidak sehebat kakak-kakaknya. Memang Antya ini sering merasa rendah diri. Sering ia merasa dinomerduakan olehku. Ini terungkap saat gurunya bercerita padaku. Hal ini membuatku mengoreksi diri. Pernah setelah retret sekolah, aku menerima surat darinya yang berisi demikian, “Ibu, aku merasa sakit hati pada ibu. Aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan mbak Dita dan kakak.”


Hah?????????
Ternyata, apa yang kupikirkan, bahwa selama ini aku memotivasi Antya justru dianggap membanding-bandingkan olehnya. Mungkin komunikasi kami tidak berjalan dengan baik, sehingga Antya mempunyai perasaan demikian. Aku perlu bicara hati ke hati dengannya.
Suatu sore aku memanggilnya. Kami berbicara empat mata. Aku memberinya pengertian bahwa apa yang kulakukan, sedikitpun tak ada maksud membandingkan dia dengan kakaknya. Aku hanya ingin ia tumbuh menjadi gadis yang kuat dan tangguh, sesuai dengan namanya yang kuambil dari bahasa Sansekerta, Acintyasakti yang berarti kuat dan tangguh, seperti harapanku pada diriku sendiri yang merasa sendirian saat mengandungnya. Aku berharap diriku kuat  dan tangguh  merawat anak-anak sendiri. Aku mengatakan padanya, “Mbak, tak ada seorang ibu pun yang berniat buruk pada anaknya. Demikian juga ibu. Jika ibu mengatakan hal yang mungkin kurang enak untukmu, janganlah menganggap ibu merendahkanmu, membanding-bandingkanmu dlsb. Tujuan ibu hanyalah agar mbak Antya tumbuh menjadi anak yang kuat dan tangguh. Tak ada sedikitpun ada niat jelek ibu. Harapan ibu asahlah dirimu menjadi seorang pribadi yang bisa berarti, berguna, paling tidak buat dirimu sendiri, keluarga dan orang-orang disekitarmu.”

 Sepertinya sejak percakapan saat itu, ia mengerti bahwa ibunya tidak seburuk yang ia kira. Antya mulai mengasah dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan baik di gereja maupun kepramukaan yang mengasah ketrampilan. Ia juga  terlibat dalam kepengurusan OSIS di sekolahnya. Kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Aku bangga padanya.

Namun, ada satu kejadian yang membuat aku trenyuh. Inilah saat pertama kali Antya memelukku dengan airmata dan tangis kesedihan.  Seolah kejadian ini memperkuat keyakinannya, bahwa ia tak sehebat kakak-kakaknya. Kejadian itu adalah saat ia gagal masuk SMA tempat kakaknya sedang menimba ilmu disana. Sesengukan ia menghampiri aku, seolah mencari kekuatan dan perlindungan. Hal yang tak pernah dilakukannya. (Memang ketiga anakku tak pernah bermanja padaku. Walau kami sering bercanda tapi mereka tak mau menunjukkan kemanjaan mereka pada orangtuanya. Hanya si bungsu saja yang mau bermanja pada kami.) Walau air mata ini menggantung di pelupuk, tapi aku tertawa. Kataku menghiburnya, ”Kenapa nangis, mbak? Seperti halnya pertandingan, ada yang kalah dan ada yang menang. Demikian juga kamu sekarang ini. Mendaftar disini berarti kemungkinannya adalah diterima atau tidak. Kita harus siap menghadapinya, kan? Ayo senyumlah. Tuhan selalu punya rencana yang indah untuk kita. Rencana dan keinginanmu bukanlah RancanganNya.” Tangis Antya mereda. Aku tertawa. Mungkin pikirnya, ibu ini gila. Anaknya gagal kok malah tertawa. Ya, bagiku hidup bukanlah sekedar belajar tentang kesuksesan, tapi juga kegagalan. Melihat ibunya tertawa, akhirnya Antya pun tersenyum. Demikianlah Antya terus menjalani masa-masa belajarnya di sekolah kehidupan ini. Aku yakin Tuhan akan selalu menjaganya. Kalau aku saja sebagai orangtuanya sangat menyayangi dia, apalagi Sang Pemiliknya, pasti lebih mengasihi Antya. Satu doa yang mengesankanku adalah doa Jendral Douglas McArthur yang antara lain begini bunyinya,”
Berikanlah anakku, ya Tuhan, hati yang kuat untuk mengetahui saat dia lemah, dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri ketika ia takut; orang yang akan bangga dalam kekalahan yang jujur, dan rendah hati dan lemah lembut dalam kemenangan.

Bentuklah anakku menjadi manusia yang tangguh dan beriman seorang putra yang akan mengenal Engkau. Bimbinglah dia, bukan di jalan yang penuh kemudahan dan kenyamanan, tetapi di bawah tekanan dan desakan kesulitan dan tantangan. Biarkan dia belajar untuk berdiri di tengah badai; biarkan dia belajar belas kasih bagi mereka yang gagal.

Berikan anakku hati yang bersih, yang tujuan hidupnya tinggi; seorang putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum ia berusaha untuk memimpin orang lain; orang yang akan belajar untuk tertawa, namun tak pernah lupa bagaimana menangis; orang yang akan mencapai ke dalam masa depan, namun tak pernah melupakan masa lalu.

Dan setelah semua hal-hal ini, berikanlah dia cukup rasa humor: sehingga ia dapat selalu serius, tapi tidak pernah mengambil dirinya terlalu serius. Beri dia kerendahan hati, sehingga ia selalu ingat kesederhanaan dari kebesaran, dan kelemah lembutan yang merupakan kekuatan sejati.

Lalu aku, ayahnya, akan berani berbisik, "Hidupku tidak sia-sia."

Ibu sayang kamu, mbak…..
Semarang, 30 Juli 2011



read more

Sang Penghiburku

0 komentar
Anak bungsuku, terlahir dalam suasana lebaran. Cukup kacau, karena dengan 3 anak yang masih kecil – kecil ditambah lagi pembantu mudik. Alamakkkkk!

Bukan cuma itu! Hadehhhhhh, saat melahirkan pun bermasalah. Aku terlalu kuat mengejan dan dokter belum datang. Sehingga memerlukan penanganan khusus yg menyebabkan banyak jahitan harus kujalani. Tak hanya banyak jahitan tapi mungkin diobras juga. Ha ha ha ha….

Belum selesai juga kekacauannya. Ternyata saat pulang jahitan dokter itu tidak sempurna. Sakit bukan kepalang. Mau kembali ke dokter itu, belum buka, karena sang dokter masih libur lebaran. Oh, my God! Terpaksa mengunjungi dokter di dekat rumah untuk mendapat pengobatan darurat. Apa dia bilang????

“Bu, ini harus dioperasi lagi,” sarannya.“
Hah????,” jawabku hampir menangis.Pengeluaran lagi, pikirku.

Baru saja melahirkan, lebaran pula. Lebih dari itu rasa sakit yang tak bisa kubayangkan kalau harus dioperasi lagi. Aku hanya menangis dalam hati saja. Dalam keadaan riweh, suamiku pun ikut – ikut panik. Marah-marah padaku yang kesakitan ini. Yang katanya manja, dlsb. Lengkaplah sudah penderitaanku.

Tapi melihat paras Vento yang tampan dan teduh sungguh sangat menghiburku. Dia adalah satu-satunya anakku yang lahir ditunggui dan dilihat ayahnya. Dalam kesakitanku, yang kusebut selalu adalah Sahabat dan Penolongku, juga aku berdoa pada Padre PIO, pelindung orang sakit untuk merayu Tuhan supaya aku tak merasa kesakitan.

Ya, begitulah. Orang sakit dan menderita selalu dekat dengan doa, he he he. Percaya atau tidak, saat aku merasa kesakitan luar biasa tercium bau harum yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Ternyata saat aku baca kembali cerita tentang Padre Pio, seorang Santo yang dikarunia bilokasi dan stigmata, mereka yang mendapatkan karunia kesembuhan melalui perantaraan doa pada Padre Pio mengalami hal yang sama dengan yang kurasakan. Untuk itulah aku menamai bungsuku ZENA PIO MEIDI ADVENTO. Yang artinya sang Penghibur yang lahir di masa Advent.

Vento tumbuh sebagai anak yang menggemaskan dan cerdas. Hatinya sangat lembut. Bicaranya santun Tak heranlah ia dicintai kakak-kakaknya juga teman-temannya. Vento pandai berdoa. Doanya sangat sederhana dan menyentuh.

Ada hal lucu dan membuat trenyuh yang tak dapat kulupakan. Yaitu saat Natal. Kami selalu mengadakan ibadat keluarga dan evaluasi bersama. Saat pengakuan dosa dan ucapan syukur, Vento yang saat itu masih berumur 5 tahun mampu mengaku dosa dengan sungguh-sungguh sampai menangis.

“Tuhan, ampunilah aku, karena aku tidak patuh pada ayah dan ibu dan suka berantem dengan kakak dan mbak. Ampunilah aku Tuhan”, doanya dengan suara yang terbata-bata sambil berurai airmata.

Mendengar suaranya yang serak tentu saja kakak-kakaknya menoleh dan memperhatikan dia sambil menahan tawa. Demikian juga saat ucapan syukur. Doa Vento membuat kami tercengang. Doa yang sangat sederhana dan penuh makna yang diucapkan dengan lancar untuk anak usia 5 tahun.

Jika ditanya, apakah cita-citanya, Ia akan selalu menjawab jadi romo. Ha ha ha……Semoga! Aku sih sebagai orangtuanya, Cuma berharap semoga cita-cita itu memang sudah ditiupkan Tuhan dari sejak ia berada dalam kandungan.

Vento, anakku yang manis…teruslah menjadi penghibur keluarga anakku, dengan senyum dan kelembutan hatimu…
Kami sayang kamu….

Ibu terus mendoakanmu agar boleh mendapat rahmat panggilan dariNya. Amin
2 Agustus 2011

Romo VentoRocker imoetku

read more

Ha …Ha … Ha… Setan Saja Jijik dan Tertawa Geli Melihat Kelakuanku

0 komentar
Kenthoez (= biji salak yang keras,-> Kementhus = kemaki = sok = sombong), demikianlah teman – teman bermainku memanggil aku. Nama itu diberikan oleh teman SDku, yaitu Mayang Antasari. Entah dimanakah dia sekarang. Saat itu kami belajar Bahasa Jawa, membahas seputar buah – buahan. Dia lalu menganalogikan aku seperti biji salak yang sangat keras.

Memang untuk menutupi luka batin masa kecilku, aku tumbuh menjadi anak yang keras hati, sok, sombong, cuek tak peduli dengan apapun. Maunya sendiri (padahal ini untuk menutupi kerapuhanku). Aku sangat tomboy, usil dan iseng. Bahkan aku sempat jengkel mengapa aku terlahir sebagai seorang perempuan.

Saat itu aku sedang masa puber, tumbuh menjadi perempuan dewasa. Aku benci mengapa aku menjadi seorang perempuan. Sempat terpikir aku ingin menjadi laki – laki saja. Maka berpakaianlah aku ala seorang laki –laki. Bercelana pendek, berambut cepak, tak mau pakai mini set. Hobiku berkelahi, segala permainan cowok ala anak jalanan, bermain sepak bola dan bersepeda keliling kota kebut – kebutan sampai tangan patah, bermain detektif ala LIMA SEKAWAN, lompat dari ketinggian hingga daguku harus dijahit, kaki masuk jeruji sepeda dan harus dijahit, trek – trekan naik sepeda motor dan tabrakan berkali – kali, bahkan sempat setelah dijahit di paha ternyata 6 bulan kemudian ada karet yang tertinggal disana. (Memang bapak mencarikan aku SIM, padahal saat itu aku masih kelas 1 SMP) sementara kakakku yang kelas 1 SMA tidak dicarikannnya). Semua itu sudah kualami. Ha ha ha ha….. mungkin setan saja jijik melihat kebandelanku.

Bukan cuma bandel, tapi aku juga iseng. Keisengan yang sangat kuingat adalah ketika tetangga sebelah rumah sedang diapeli. Waktu itu aku masih kelas 2 SMP. Tetanggaku, namanya mbak Ratna, saat itu kelas 3 SMA. Dia tidak suka diapeli cowok itu. Padahal si cowok seorang mahasiswa kedokteran. Mbak Ratna berunding denganku, menyiapkan rencana busuk. Aku bilang padanya, serahkan padaku, pokoknya beres.

Tahukah apa yang kulakukan padanya???? Aku menggembosi ban sepeda motornya, lalu jok sepeda motornya ku penuhi dengan batu dan kerikil. Mbak Ratna sampai tertawa terbahak terpingkal – pingkal sampai keluar airmata, melihat si cowok itu menuntun motornya gontai.

Ternyata si cowok itu tidak jera. Ia masih datang. Mbak Ratna menelponku dan menyuruh ke rumahnya. “Mei, ayo kita kerjai lagi,” katanya.
Aku berpikir keras bagaimana membuat cowok itu kapok. Aku menerapkan cara ibu – ibu jaman dulu mengusir teman cowok gadisnya dengan pengulek sambal yang diacung-acungkan. Ha ha ha tentu saja tidak berhasil. Akhirnya aku punya ide jitu. Tapi kalo ingat ini, aku merasa jahat sekali. Hahhhhh… Tuhan moga – moga karma sudah tidak berlaku lagi…. He he he….

Kebetulan rumahku adalah apotik Jadi mudah saja bagiku untuk mendapatkan obat. Aku meminta obat urus – urus. Si pegawai apotik bertanya, untuk siapa, aku jawab saja untuk teman. Lalu bergegas aku ke dapaur mbak Ratna membuatkan susu yang telah kucampur obat urus – urus itu. Dalam hitungan menit si cowok mulai merasakan efek dari obat tersebut itu, dan segera pamit pulang. Ha Ha ha….Cukup???? Belum! Karena sore harinya kami menelpon dari telepon umum, dan menelpon dia dengan suara ala Mak Lampir, tertawa terkikik – kikik lalu berpesan agar dia tidak datang lagi berkunjung ke rumah mbak Ratna. Aku berhasil. Sejak itu si cowok tidak lagi datang. Seringkali aku bergidik mengingat keisenganku. Untung saja anakku tidak ada yang seiseng ibunya. Mereka semua manis – manis dan baik seperti ayahnya. Ha ha ha…..

Bukan Cuma itu saja cerita keisenganku. Aku bersekolah di SMP dan SMA yang muridnya perempuan semua. Kebetulan dari kelas 1 – 3 SMA aku jadi ketua kelas abadi. Suatu hari kami bosan dengan pelajaran seorang guru. Lalu aku merencanakan membuat guru ini tidak kerasan di kelas. Aku membawa daun simbukan (yaitu daun yang baunya seperti kentut jika digosok – gosokkan). Ha ha ha….alhasil pak guru itu hanya mengajar sebentar karena tidak tahan bau yang sudah kuoles diseluruh kursi dan mejanya. Ia hanya meninggalkan tugas, dan kami semua bersuka cita. Horeeeeeeeeeeeeee!!!!!!.

Teman – temanku pun juga pernah menjadi korban akal bulusku. Saat itu Hari Kartini. Ada berbagai macam lomba. Ada juga lomba kekompakan. Kami menyiapkan yel – yel sedemikian rupa. Aku meminta semua teman – teman memakai baju adat Nusantara, kecuali mereka yang ikut lomba pasangan paling luwes. Semuanya patuh. Tapi karena aku malas terlihat cantik ( he he he ngeles aje…) aku hanya berpakain seragam putih lengan panjang, celana panjang putih milik adikku, sarung dan peci milik bapak.
This is it. Inilah aku yang berpakaian ala pemuda Betawi. Teman – teman yang melihatku berpakaian seadanya mengumpat dan marah – marah padaku. He he he… kena deh!

Ternyata Tuhan tidak membiarkan aku terus-terusan menjadi bandel. Ia mengubahku pelan – pelan dalam berbagai peristiwa hidupku. Aku akan diubahnya dari seekor ulat menjadi kupu – kupu. Semoga!

Walau tomboy dan sempat jengkel terlahir sebagai seoran perempuan, ternyata aku akhirnya jatuh cinta juga. Itu terjadi waktu aku kelas 3 SMP. Aku jatuh cinta pada teman kakakku, yang saat itu kelas 3 SMA. Namanya Budi Santosa. Begitulah cinta pertama, cinta monyet. Curi – curi pandang, saling berkirim surat dan menelpon sudah membuat hati ini bahagia berbunga – bunga, membumbung ke angkasa.

Sayang, mas Budi tidak berumur panjang. Ia meninggal karena kecelakaan. Tak ada yang member tahu aku kalau dia mengalami kecelakaan dan perdarahan otak yang cukup parah. Barulah pada hari terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, ibunya menyuruh temannya untuk mencari aku, itu pun karena Mas Budi mencariku. Mereka tak tega memberitahu aku akan keadaan Mas Budi yang sebenarnya. Aku bergegas ke rumah sakit. Sedih sekali aku melihat keadaannya saat itu. Aku tahu tak ada lagi harapan tersisa. Aku genggam tangannya, sambil kubisikkan, “Mas, kalau sudah tidak kuat pulanglah.” Sore hari setelah aku jenguk mas Budi pulang dalam damai.

Tana kuburannya baru kering setelah 3 bulan, karena setiap sore aku selalu mengunjungi makamnya untuk sekedar berdoa dan menangis. Setelah berhasil melupakan Mas Budi, kalau tak salah aku sudah di bangku SMA, aku berganti – ganti pacar. Ha ha ha…. Ternyata aku ini pembosan. Sampai akhirnya Tuhan mengirim cinta sejatiku. Dia adalah laki – laki yang menjadi suamiku sekarang. Dialah anugerah yang terindah yang diberikan Tuhan untukku.

Usia kami terpaut 10 tahun. Dalam diri dia aku menemukan Bapak. Dia sabar dan sangat dewasa. Perlahan dia mengubah aku menjadi seorang WANITA, anak yang manis, ibu dan anggota masyarakat yang baik. Banyak kepahitan yang aku lalui selama berpacaran dengan dia. Tapi biarlah itu menjadi rahasiaku saja saat ini.

Bersama dia, Tuhan mengubah aku dari seorang yang sangat keras kepala dan keras hati menjadi seorang yang peka dan mau berempati. Itu terbukti aku mulai bisa mengalah terhadap mama. Juga, salah seorang sahabatku saat mahasiswa mengatakan begini,
“Thoez, dulu aku sebal lihat kamu. Orang kok kalo jalan mendongak, gak liat kanan kiri. Huh sombong sekali. Tapi, ternyata saat upacara, dan aku sakit justru kamu lah yang menolong aku. Dan masih banyak lagi hal yang menunjukkan aku sudah berubah.

Tuhan juga mengubah aku menjadi seorang pelayan dan menjadi lebih sabar. Dulu aku bekerja sebagai seorang Executive secretary untuk beberapa perusahaan asing internasional. Aku pernah bekerja dengan orang India, Itali, Inggris, Amerika dan terakhir Jepang. Tetapi yang paling akhir Tuhan memintaku menjadi seorang guru. Dilatihnya aku untuk menjadi sabar dan mau melayani. Jauh sekali dari sifatku yang sebenarnya.

Aku tahu, Tuhan mau aku menjadi seekor kupu – kupu. Walu masih jauh untuk menjadi kupu – kupu yang indah. Terbukti sifat keras hatiku masih ada. Beberapa hari yang lalu, suamiku protes, karena aku tidak bertegur sapa dengan seorang teman. Memang ada salah paham. Tapi aku memang lagi malas bicara dan berurusan dengan hal – hal yang tak penting. Kata suamiku, aku ini seperti orang munafik. Di luar banyak orang memujiku, tapi di rumah, suamiku melihat aku seorang yang munafik untuk beberapa hal yah lagi – lagi karena kekerasan hatiku. Ini koreksi buat diriku, yang terus ingin keluar dari kepompongku, sebelum aku menjadi kupu – kupu.

Aku ingin menjadi seekor kupu – kupu cantik, yang kelak akan terbang keangkasa dan boleh memandang WajahNya yang KUDUS…….

Semarang 16 Agustus 2011
Sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia dan usahaku yang terus menerus untuk merdeka dari belenggu dosa (Ada hubungannya gak ya???? Xixixixi)

read more

Usai

0 komentar
Cintaaaaaaaaaaaaaaa….
Maaf jika peluk ini harus kulepas
Musim semi telah lewat
Angin pun terasa gerah
Tangan pun serasa enggan untuk menggenggam

Tapi Cintaaaaaaaaaaaaa….
Percayalah bahwa aku selalu ada
Ditanah basahmu yang telah meretak
Di perihnya angin yang tak pernah bisa memeluk matahari

Selamat tinggal Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaa…..
Namamu memang tertulis di pasir pantai yang terhempas ombak
Namun matahari mencatat semua cerita musim – musim yang telah kita lewati bersama

Berdirilah dengan tegak,
Memandang tegar matahari yang sebentar tenggelam di ufuk Barat
Mungkin sinarnya esok bukan untukmu
Tapi engkau tetap akan merasakan kehangatannya

Percayalah Cintaaaaaaaaaaaaaaa….
Tak ada yang salah dengan musim ini
Karena semuanya memang harus terjadi…………

read more

Tuhan Membuatku Merasa Kaya Raya

0 komentar
Miris aku memandang bu Asih (sebut saja namanya begitu), yang perutnya semakin lama semakin membesar. Aku takut sekali melihat dia berjalan tergopoh – gopoh seperti seorang pemain drumband tanpa stick.

Aku paling sedih jika melihat orang sakit, tapi tak bisa berobat karena kendala biaya. Rasanya aku ingin menjadi kaya raya, hingga bisa membantu orang – orang yang sakit itu. Tapi untunglah, walau aku belum kaya, tapi Bapaku yang di surga itu kaya raya. Ia punya banyak tangan. Dan Ia cuma membisikiku untuk pergi ke rumah Bu Asih, masalah yang lain nanti Aku yang bereskan, begitu Ia bicara padaku.

Hingga suatu sore aku tak tahan untuk mendatangi Bu Asih dan bertanya apakah gerangan sakitnya. Dengan tersendat menahan tangis Bu Asih bercerita,
“Bu Meita, saya sudah dua tahun menderita kista,” serak suaranya terdengar di telingaku.
“Lha kenapa tidak segera dibawa ke dokter, bu?” tanyaku ingin tahu.
“Emmm, tidaklah nanti merepotkan keluarga. Biar saja biaya untuk berobat ini untuk keperluan anak-anak bu,” sahutnya menahan tangis yang hampir tumpah.

Memang kehidupan Bu Asih ini menurutku pas-pasan walau tidak juga dikatakan miskin. Keluarga mereka hanya bersandar pada kepala keluarga yang sudah pensiun. Dengan tiga putri yang menginjak remaja, tentu biaya pendidikan sangat berat. Untung saja, di lingkungan kami mempunyai program Beasiswa. Dan Keluarga Bu Asih cukup terbantu dengan program bantuan beasiswa di lingkungan kami ini.

 “Bu Asih, apakah ibu mencintai anak-anak ibu?”, tanyaku gemas.
“Ya tentu saja to, bu Meita. Tapi keadaan kami seperti ini. Saya harus bagaimana?” ujar Bu Asih bingung.
“Kalau ibu menyayangi mereka, ibu harus ke dokter ya. Besok saya antar. Sudah tak usah pikirkan dulu masalah biaya. Lagi pula kita bisa pakai kartu kesehatan suami ibu,” kataku.

Aku tahu suami bu Asih adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Jadi untuk masalah kesehatan tentu saja Negara ikut menanggung sebagian. Sungguh tak habis ku mengerti mengapa bu Asih membiarkan kista diperutnya membesar hingga terlihat seperti seorang perempuan yang hamil sembilan bulan. Yang tak kumengerti lagi mengapa keluarganya pun juga diam saja, tak mencoba berinisiatif mengambil suatu tindakan menyelamatkan Bu Asih.

Akhirnya aku memutuskan akan mengantar Bu Asih besok. Masalah biaya pikirkan nanti. Sebetulnya sih aku juga tak ada duit  lebih untuk pengeluaran ini. Tapi manalah mungkin Tuhan diam saja tidak membantuku. Aku Cuma bergumam dalam hati,

“Tuhan, Kau yang bawa langkah kaki ku ke rumah ini. Engkau juga yang akan menyediakan biayanya. Aku tak tahu lho ya. Aku pasrah.” Setelah bicara sebentar padaNya hatiku makin mantap untuk membawa Bu Asih ke dokter.

Keesokan paginya, jam sembilan pagi aku ke rumah Bu Asih. Dia sudah bersiap menungguku. Kami berdua menuju ke Puskemas dulu untuk mendapat rujukan, sebelum akhirnya ke rumah sakit. Semua administrasi beres. Kami menuju ke rumah sakit di bawah terik matahari yang tak ramah. Sesampai di rumah sakit kami masuk ke ruang dokter spesialis kandungan.  Dokter yang menangani sempat kaget dan ngeri melihat perut bu Asih ini. Sang dokter berkata,
”Ini harus segera diambil bu, kalau ibu tak mau terjadi hal yang lebih buruk.” Bu Asih menghela nafas panjang.

Lalu si dokter berkata lagi, “Ini saya siapkan surat untuk mondok, cek lab, dan operasi ya, bu. Terserah ibu mau masuk kapan.” Kami berlalu dari ruang periksa setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih.

Dalam perjalanan pulang, aku memberi semangat Bu Asih. “Bu, nanti sesampai di rumah, ibu segera berunding dengan suami ibu. Lalu sediakan semua persyaratan administrasinya. Masalah biaya, banyak jalan menuju Roma. Tak perlu khawatir. Yang penting ibu punya tekat untuk sembuh,” ujarku.
Bu Asih, terlihat bahagia. Wajahnya berbinar. Walaupun ada sedikit kecemasan, mungkin ia memikirkan masalah biaya itu.

Aku membiarkan Bu Asih berunding dengan keluarganya. Aku menunggu kabar dari dia. Sehari, dua hari tak ada kabar. Hari ketiga, aku sudah tak sabar lagi. Aku angkat telpon, dan menghubungi bu Asih menanyakan bagaimana rencana selanjutnya. Tapi justru yang kudengar adalah suara sesengukan.
“Bu Meita, suami saya tidak setuju. Saya disuruh berobat alternatif saja,” deras kalimat itu keluar dari mulutnya seolah melepas kejengkelan yang berkecamuk di dadanya.

Hatiku perih mendengar penjelasannya. Lalu aku berkata, “Bu, pengobatan alternative itu membutuhkan waktu yang lama. Kalau penyakit ibu itu yang dibutuhkan bukan obat, tetapi tindakan pengambilan. Dan harus segera. Tidak bisa ditunda lagi. Sekarang ibu begini saja, ibu berunding dengan keluarga pihak ibu. Dan minta dukungan. Saya akan bantu dengan menghubungi teman – teman untuk, mengumpulkan biaya. Tapi yang penting ibu bergerak dulu. Lagipula, sebagian besar biaya ibu sudah ditanggung pemerintah. ”

Bu asih menghubungi pihak keluarganya. Aku tak menghubungi Bu Asih sampai beberapa hari. Sampai suatu hari telpon di rumahku berdering. Krrrrrrrrrrrrrrriingggggggggggggggg!
“Selamat pagi,” sapaku.
“Selamat pagi, bu Meita,” terdengar suara diseberang telpon. “Saya Ratri bu, mau memberi kabar, ibu akan operasi besok pagi.” Hatiku senang sekali mendengar kabar dari Ratri, putri Bu Asih. Lalu kataku,
“Ya, Ratri, saya senang sekali, semoga semuanya besok berjalan lancar. Saya akan datang ya,” ujarku.
“Baik, Bu Meita, sampai besok,” kata Ratri menutup pembicaraan.

Keesokan paginya, aku datang ke rumah sakit untuk memberi dukungan Bu Asih, menghadapi operasi. Walau cemas, Bu Asih terlihat bahagia. Dia berkali – kali mengucapkan terimakasih padaku. Ah… padahal aku tak berbuat apa-apa, hanya mengantar dan sedikit provokasi ha ha ha…... Aku jadi malu sendiri, karena Bu Asih menganggap aku seperti dewa penolong saja. Aku mengajak keluarganya berdoa bersama sebelum Bu Asih dibawa ke ruang operasi.

Operasi berjalan lancar. Daging yang tumbuh di perutnya sudah diangkat. Kalau tidak salah ingat beratnya hampir mencapai 3 kilogram. Dan besarnya melebihi bola basket. Ho ho ho…….Ngeri bukan???
Aku menjenguk Bu Asih setelah ia kembali ke rumah. Senangnya melihat ia berusaha berjalan ke luar dari kamarnya tanpa membawa drum nya itu. Terimakasih Tuhan. Janjimu indah sekali. Aku yakin Tuhan mencukupkan biayanya. Karena Bu Asih tidak mengeluh padaku masalah biaya.

Sekarang Bu Asih sudah bisa bekerja. Ia membantu suaminya . Tuhanku memang ajaib. Aku memang tidak kaya. Tapi aku boleh ikut ambil bagian dalam  kesembuhan Bu Asih. Kini ia bisa produktif. Setiap kali aku membeli sesuatu di warungnya, selalu ia bilang, “Saya sekarang bisa bekerja karena bu Meita.”

 Sebenarnya aku malu kalau ia bilang begitu. Karena aku sungguh hanya mengeluarkan sedikit uang dan tenaga, juga saran yang provokatif saja.  Tapi yang penting Tuhan sudah membuatku merasa kaya raya…… Ha ha ha......Pelajaran yang bisa kuambil adalah, jika kita mau berbuat sedikit saja, Tuhan pasti akan membantu kita. Ia pasti akan melengkapinya.........Terimakasih Tuhan buat kemurahanMu pada kami semua.

read more

Senin, 15 Agustus 2011

Memori Biru : Bapakku

Senin, 15 Agustus 2011
0 komentar

Ingatanku kembali pada 18 tahun yang lalu. Mengenang seorang pelindung yag sangat mengasihiku. Sosok yang terkenal keras namun penuh dengan cinta : Bapak !

Ah…kenangan manis masa kecilku seolah terputar kembali seperti sebuah slide Film Kehidupan. Teringat saat beliau menungguiku belajar dan akhirnya tertidur, lalu digendong dan diselimutinya aku, saat kami bersama saudara-saudara kami melewatkan masa liburan sekolah dengan berkunjung ke tempat – tempat wisata. Sosok yang sangat mengasihi keluarga.

Tapi tak kan juga kulupakakan, bagaimana kerasnya Bapak mendidik kami putra-putrinya. Teringat di suatu sore Bapak membawa ikat pinggang, sambil menunggu kakakku yang melakukan kesalahan besar. Tak cuma dengan ikat pinggang, Bapak juga tak segan mengikat kami seperti seorang kelelawar yang bergelantungan dengan kepala di bawah.

Ya begitulah orangtua jamanku mendidik anak-anaknya dengan keras. Jangan harap kita lakukan ini sekarang, bisa-bisa dilaporkan polisi.

Bapak dalam kegeeranku terlihat lebih menyayangi aku dibanding saudara-saudaraku. Sering aku meledeknya,
”Pak siapa yang paling disayangi? Aku kan?” tanyaku.
Beliau hanya terkekeh saja sambil bergumam,
“Ora wae, kabeh tak sayang. (Tidaklah, semua aku sayang).”

Bapak juga merupakan sosok yang welas asih. Pernah suatu ketika, ia memarahi mama karena menghajar aku. Beginilah ceritanya.

Aku ini adalah seorang anak yang tomboy dan iseng. Walaupun perempuan, tetapi teman bermainku kebanyakan laki-laki. Aku suka sekali bermain sepak bola dan bersepeda keliling kota. Aku juga suka memanjat pohon tinggi – tinggi. Seringkali mama memperingatkan aku supaya lebih feminim. Tapi  aku tak peduli. Aku tahu mama mungkin muak dengan kebandelanku. Hingga suatu sore, ketika aku sedang mengumpulkan teman – temanku untuk berkeliling kota, bermain ala detektif LIMA SEKAWAN, menyelidiki sebuah rumah yang kelihatan sunyi dan mencurigakan, terjadi hal yang membuat tanganku patah.

Rumahku terletak di pinggir sebuah jalan raya. Di depan rumah kami ada got yang cukup lebar. Setelah lelah asyik bermain kebut-kebutan, berteriak-teriak di jalan seolah dunia cuma milik kami, kami pulang. Sambil terus mengayuh dengan kecepatan tinggi aku meluncur dari arah atas jalan,  pulang menuju rumah. Dengan sok gaya aku melepas tanganku dari setang sepeda. Dan tiba –tiba……….Gubrakkkkkkkk! Terdengar suara keras. Sepedaku nyangkut di trotoar sedangkan aku terbang sebelum akhirnya tersangkut di saluran pipa air di depan rumah.

Malu, sakit dan bingung bercampur aduk. Terlihat juga wajah teman-temanku yang ketakutan. Beberapa dari mereka mengangkatku keluar dari got. Lalu keluarlah Mama dan Bapak dari dalam rumah.  Mama menggeleng – gelengkan kepala. Beliau terlihat kesal dengan aksiku. Sedangkan Bapak menatapku khawatir. Mama menyeret aku ke kamar mandi. Badanku belepotan dan bau got. Mama terus menyiram aku hingga bersih sambil terus mengomel. Sedangkan aku menahan rasa nyeri di tanganku juga di hatiku. Tak ada setetespun air mata keluar. Aku tak mau menunjukkan rasa sakit itu pada mama. Aku tahu aku yang salah. Bapak menenangkan mama.
“Wis to. Lihat itu anakmu tangannya patah,” kata Bapak sambil menunjuk tanganku yang terkulai seperti tak bertulang. Mama tak peduli. Sepertinya beliau sungguh – sungguh muak dengan kenakalanku. Akhirnya Bapak membawaku ke rumah sakit. Tanganku di gips. Ya Bapak ! Bukan Mama yang menolong aku!

Hmmm, aku sih sadar diri kalau mama muak dengan kenakalanku. Karena dari dagu, trus kaki dijahit karena jatuh, tabrakan berkali – kali sudah pernah aku alami. Dan selalu Bapaklah yang menolong aku.

Walaupun Bapak dikenal sosok yang keras hati, tapi beliau juga rapuh. Terutama pada Mama. Pernah suatu kali Bapak menangis di depan anak-anaknya, setelah bertengkar dengan Mama entah untuk masalah apa.

Bapak juga seorang yang ramah dan humoris. Seorang pemilik toko, tempat kami sering kulakan pernah menyatakan kekagumannya pada Bapak. Bapak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Cina, hanya karena sering nongkrong menunggui mama kulakan. Tertawa terbahak – bahak dan ngobrol apa saja. Suatu ketika si pemilik toko itu berkata pada Bapak,
“Sudah, Bapak duduk disini saja terus, karena kalau Bapak datang toko saya laris.”

Bapak dan aku sangat dekat. Ia suka bercanda denganku. Aku suka minta gendong di punggungnya. Sering tiba-tiba dari belakang aku melompat ke punggungnya tak mau lepas. Setelah itu pasti segera ia menjilat telapak tangannya dan melumuri dengan ludah untuk diusapkan ke wajah dan tanganku. Kalau sudah mulai jorok begitu biasanya aku berteriak – teriak dan akhirnya lompat turun dari punggungnya.

Ah…. Bapak….
Ia seorang yang sehat dan jarang sakit. Hingga suatu sore saat mengantar adikku berobat, teman – teman perawat mama menyarankan mereka berdua sekalian untuk check up. Bapak dan mama setuju. Tapi tak disangka setelah hasil di dapatkan, sore itu juga Bapak harus mondok di rumah sakit itu. Sejak saat itu hingga lima bulan berikutnya, Bapak hidup dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Pernah juga ia di bawa ke Jakarta. Hingga pada 24 Agustus 1993 Bapak kembali ke rumahnya yang abadi.

Umur orang siapa yang tahu. Berangkat sehat wal afiat tanpa keluhan. Hanya setelah check up diketahui penyakit kanker sudah bersarang ditubuhnya. Ternyata selama ini Bapak tidak pernah mengeluh walau mungkin ia merasakan sakit tapi tak pernah dirasan dan dikatakan. Luar Biasa!

3 tahun lamanya barulah aku cukup kuat untuk mengenang Bapak tanpa tangis.  Akan ku kenang selalu saat yang paling indah untukku.Itu adalah saat aku memenuhi janjiku pada Bapak untuk menyelesaikan studiku. Memang karena saat itu aku sudah menikah, punya anak dan bekerja membuat skripsiku terbengkalai. Tapi karena aku punya semangat berlomba dengan waktu untuk memenuhi janji ku pada Bapak. Maka dengan penuh semangat dan dibantu teman-teman yang sangat baik akhirnya selesai juga beban itu.

Saat wisuda usai, orang pertama yang kutemui adalah Bapak. Masih dengan atribut lengkap wisuda, berkebaya dan bertoga aku masuk keruang ICU. Tanpa mempedulikan orang yang keheranan melihat ada mahluk aneh di ruang itu. Aku serahkan Ijasahku sambil berkata pada Bapak,
“Pak, lunas hutangku!”
Beliau hanya memandangku bangga dan mengucapkan terimakasih.

Bapak sayang…………………………………………
Terimakasih telah mengukir wajahmu di parasku….
Memahat kasih di lubuk hatiku
Dan menanam kebaikan di jiwaku.

Akan kusenandungkan selalu lagu ciptaan mama saat aku terpekur mengenangmu…..

Terimakasih oh kekasihku
Terimakasih oh ayahku
Terimakasih oh sahabatku
Atas sgala cinta dan pengorbananmu
Harapanku dan doaku
Di Surga, tempatmu
Dan kau, kan slalu menjadi perantara sgala doaku…..


Mengenang 18 tahun Bp. Agustinus Moedjiono Nursivin di panggil Tuhan – 24 Agustus 1993

Secara khusus aku juga mau berterimakasih buat Tante Tien yang merawat Bapak di Jakarta, teman-teman kuliah mbak ndut and mas arnan yang membantu mengetik. Kewek yang selalu menyemangati aku. Dan semua sahabat-sahabatku Thanks banget…….Kalianlah malaikat – malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku….Terimakasih Tuhan…..

Skalian aku mau tertawa bersama teman2 masa kecilku, jeki, shulenk, risa, gatot alm ninonk, teman2 yang tergabung dalam geng yang aku lupa namanya : ha ha ha…. Ingatkah kalian teman2, saat kita mengendap – endap di rumah orang… dimana kalian sekarang?????? Haloooooo….

Oh ya....Buat Romo - romo, suster dan bruder dan saudara-saudaraku yang mengenal Bapak maupun yang tidak, yang sempat membaca note ini titip, tolong bawa bapak dalam doa kalian. Thanks

read more

Mama Teman Selisih Beda

0 komentar

Mengingat mama, seperti mengingat kembali teman selisih beda. Mama yang mengalirkan darah yang sama ditubuhku. Mama yang pintar menulis dan menyanyi, dan yang sifat keras serta manjanya kuwarisi. Pernah kami tidak saling menyapa hampir 2 tahun lamanya. Namun itu terjadi sebelum aku menikah.

Setelah menikah, aku berbalik 180 derajat. Aku justru melihat mama dalam kelemahannya, dalam kecerewetannya, dalam kegalakkannya selalu menanamkan kebaikan. Mama yang ceria, mama yang selalu tertawa dalam tangis dan kepedihannya. (Oh ya mama bersama teman – teman jeng – jengnya punya genk yang ia namakan : Aliran Sesat – mama diangkat sebagai ketua oleh genknya yang selalu menemani para romo jika ada keperluan mengunjungi umat atau keperluan lain. Tak heran mama cukup dikenal dikalangan para imam)

Mama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kerja sosial. Dari organisasi koperasi kredit untuk kaum lemah dan miskin, Dharma Ibu yang bergerak di bidang pendidikan, Wanita Katolik Republik Indonesia dan masih ada beberapa lagi yang aku sudah tak ingat.

Mungkin aku tak pandai menceritakannya kembali dalam kata – kata karena aku menyimpan sakit hati dari kenangan masa kecilku. Akulah anak yang paling sering dimarahinya karena kebandelanku. Pernah aku merasa teramat sakit hati karena mama tega bersumpah, padahal aku ini anaknya dan waktu itu aku masih kecil. Sampai-sampai aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan menangis di depan mama. Aku tak ingin mengingat kepahitan masa kecilku. Biarlah kulupakan semua sakit hatiku dan mencoba tidak melakukan hal yang kurang menyenangkan terjadi padaku ke pada anak-anakku.

Mama adalah seorang pejuang yang cerdik dan tangguh, apalagi setelah Bapak meninggal. Mama pandai dan diplomatis dalam berorganisasi. Tanteku memberikan apresiasi padanya, saat mengenang mama. “Ta, mamamu itu walau pendidikannya paling rendah dibanding kami bertiga, tapi mamamu itu paling bijaksana dan cerdik. Terutama dalam menyelesaikan masalah – masalah pelik, mamamu pintar dan cerdas.”

Memang, mama adalah ibu rumah tangga yang hanya tamatan sekolah perawat. Sedang adiknya yang satu adalah seorang manajer hotel berbintang di Jakarta, dan yang satu lagi adalah seorang dokter spesialis. Kupikir semua itu karena mama lihai berorganisasi. Sehingga pelajaran – pelajaran hidup yang tidak ia dapatkan disekolah, justru ia dapatkan secara langsung dalam berorganisasi.

Mama paling dekat dengan adik kembarku. Sebenarnya, anak yang paling disayang dan dicintainya adalah kakak sulungku, dan ada satu lagi yaitu menantunya : Suamiku. Beliau sangat dekat dengan suamiku. Kadang – kadang aku suka berebut perhatian. Segala urusan organisasi sosialnya yang berurusan tentang laporan organisasi dibuat oleh suamiku. Mungkin saudara – saudaraku pun iri dengan kedekatan mama dan suamiku.

 Di bulan – bulan terakhir hidupnya setelah divonis kanker, mama hanya minta pada Tuhan supaya tidak merasa kesakitan dan menderita seperti yang dialami Bapak. Dan permintaannya itu didengar oleh Tuhan.   Hari itu sedang berlangsung PEMILU. Pagi – pagi mama menelponku,
“Mei, begitu ia memanggilku, kamu nanti setelah nyoblos kesini ya. Bawakan aku soto.”
Aku mengiyakan. Suaranya masih lantang dan sepertinya tak ada masalah. Sampai – sampai suamiku bilang,
“Hah, paling-paling mamamu cari perhatian dan pengin bermanja saja. Berangkatlah dulu nanti aku menyusul.”

Setelah menyoblos aku bergegas ke rumah mama. Sesampai disana, aku sungguh kaget melihat mama yang sudah sangat kepayahan. Aku sempat memarahi adik-adikku, kenapa mereka tidak segera membawa mama kerumah sakit. Kata adik-adikku mama menunggu aku dan suamiku. Beliau tidak mau dibawa kerumah sakit jika tidak ada aku.

Dalam perjalanan ke rumah sakit aku sungguh kalut melihat mama yang kepayahan dipangkuanku. Sepertinya beliau mencari suamiku dan ingin berpesan. Aku meminta mama tidak lagi berusaha berbicara dan aku hanya mengucapkan satu kalimat yang kuulang berkali – kali dan meminta mama juga menirukanku dalam hati.”Yesus, Engkaulah andalanku…….” Mama akhirnya diam dan tak lagi berusaha bicara. Sesampainya di Rumah sakit, di ruang IGD dokter memanggilku dan berkata,
“Bu, ibunda sudah meninggal.”

Aku terpana.
Jadi, dalam perjalan ke rumah sakit tadi mama sudah pergi, mama memilih meninggal di pangkuanku, teman selisih bedanya?

Hah….aku terpekur tak menyangka secepat itu mama pergi dan tanpa rasa sakit. Hal yang selalu dimintanya pada Tuhan. (Padahal kata dokter langganan kami, mama pasti merasa sangat kesakitan jika serangan itu datang. Hal itu ia katakan saat kami bertandang ke dokter tersebut untuk mengucapkan terimakasih atas perawatannya yang membuat mama merasa nyaman.)

Segera setelah mampu menguasai perasaan aku mengabari suami dan saudara - saudaraku. Suamiku sangat kaget dan menyesal karena sudah mengira mama rewel dan minta perhatian saja.

Mama sudah pulang kealam keabadian. Pelayat yang berdatangan luar biasa banyaknya dan tak habis – habis yang mendoakan beliau. Dalam kesedihan berpakaian hitam-hitam, aku bergumam bangga, Mamaku hebat! Dicintai dan dikenal banyak orang. Dari pedagang di pasar di daerah pecinanyang dilayaninya, sampai pejabat dan pengurus berbagai organisasi. Terimakasih Tuhan.


Terimakasih mama, pejuang tangguhku.
Terimakasih sudah mewariskan ketrampilan menulis padaku (ini kata Gendit lho ma!)
Juga terimakasih sudah memberi teladan untuk selalu mengabdikan diri di ladang Tuhan.
Aku bangga padamu.
Doa dan cinta kami anak cucumu…..

Mengenang mamaku – Ibu  Maria Margaretha Moedjiati
Pulang ke surga bahagia 20 September 2004.

read more

Minggu, 14 Agustus 2011

Derai Pucuk Bakau "Harapan"

Minggu, 14 Agustus 2011
0 komentar
Dingin subuh menggamitku
Sementara gemerisik dedaunan yang menari
Tak sabar, mengajakku berdansa

Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…
Ragaku masih enggan bangkit dari pembaringan ini
Terbalut rindu yang merapuh dalam kelam

Hari baru ini terasa patah, luluh lantak
Tapi…
Suara hati memanggilku
Untuk bergegas mendaraskan mantra suci

Karena…
Ada secercah tatap bisu dari sepasang mata yang lugu serta bibir yang kaku
Menanti sebuah penghiburan yang memberikan harapan
Harapan yang bergetar dalam kesunyian….

Gontai kulangkahkan kaki ini ke balik ruang altar
Duduk terpekur sebelum mengorbankan diriku, juga Dia buat mereka
Ahhhhhhhhhhhhhh….
Lelah sekali batin ini terasa

Denting organ dan paduan suara surga menggugahku
Gairahku bangkit
Mendengar nyayian pujian yang keluar dari bibir – bibir kelu

Gumam dan racau tak menentu,
Juga raga – raga renta terlentang tak berdaya
Melenguh menjerit dalam tatap bisu dan air mata pilu
Lengking serenade pagi ini pun seperti ratap saluang...

Ah, Tuhan….
Tak Kau dengarkah ratapan itu
Tidak kah gemertak derita yang melantak meluluhkan hatiMu?

Tapi kutahu Tuhan….
Walau Kau membisu diatas sana
Kesempurnaan sujud bakti raga tak sempurna
Yang pasrah dalam cacat sepanjang hayat
Serta keteguhan iman mereka yang tak bercela
Menjadi kurban yang menyenangkan hatiMu

Dan kan Kau catat itu sebagai kunci untuk masuk SurgaMu, bahagia…..
Hmmmmm.... yah kuyakin itu..



Sebuah desahan seorang imam
yang bertugas mempersempahkan misa setiap pagi
disebuah PAnti Jompo di Binongko Flores

read more

Secangkir Kopi Tawar

0 komentar
Aku tahu ...
Kopi kesukaan yang biasa kusajikan untukmu ...
Tawar sudah dilidahmu ...

Hmmm ....
Padahal dahulu kaulah yang meminta dengan mesra
agar menyajikannya untukmu sambil kita bercanda diberanda
setiap senja ...

Sudahlah ...
Jika memang kopi ini tak lagi terasa manis bagimu ...
Buang saja ...!
Toh memang kopi itu pahit tanpa gula...
Sepahit hati ini menatap dingin wajahmu yg tlah enggan bicara ...



Suatu senja, ketika secangkir kopi tak tersentuh ...

read more

Kutunggu Engkau Disini

0 komentar
Cinta....
Matahari telah memanggilku untuk menyapa mu...
Memeluk mu dalam pendar pendar rindu segarnya pagi...

Jangan berdiri disana dalam kebisuan malam sayang...
Karena ...
Disini engkau bisa mendengar kicau dan gurau burung burung pipit...

Mari berdansa bersama tarian daun daun genit yang tersapu angin...
Kan kudendangkan selalu lagu cinta kita...
Kutunggu dirimu disini Cinta...

read more

Capucino Cinta

0 komentar
Cinta.....

Beberapa hari ini kubuatkan untukmu
Secangkir capucino panas kesukaanmu

Tapi semua yang kubuatkan untukmu kau biarkan dingin dan tawar....
Tidak kah kau suka capucino itu lagi Cinta?

Atau seleramu sekarang sudah berganti dan aku tak tahu????
Jawablah Cinta....

Aku tak mau secangir capucino itu terbuang lagi hari ini....

read more

Jangan Pergi

0 komentar
Menatapmu dari bumi ini
Seperti menyapa pagi nan sepi
Merengkuhmu di senja ini
Seperti malam-malam tanpa mimpi...

Masih adakah secangkir kopi yang bisa kusaji?
Masih adakah bunga seruni yang kan kau sematkan di telinga ini?

Ah ...
Jangan pergi .,
Tetaplah disini ...
Bersama nyeri yang slalu menyayat hati ...

Diatas kereta api Argo Sindoro
Saat sepi jadi teman abadi
24.07.2011

read more

Cinta Dalam Hati

0 komentar
Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....

Aku tahu sepi tak bisa dibeli hanya dengan pelukan saja
Tapi Cinta, ingatlah slalu
Dibawah payung merah ini
Engkau dan aku slalu bersama
Merenda hari - hari manis
Dengan kata - kata dan pelukan mesra
Ini cukup buatku mengerti indahnya asmara
Cukup untuk ku mengerti akan keagungan cinta
cinta yang tak pernah bisa memiliki
cinta yang tulus dan sejati, yang cuma bisa dirasa dihati...

Tapi....
Mungkin itu tak cukup buatmu ya Cintaaaaaaaaaaaa?
Karena kutahu dirimu ingin menggenggamnya erat
menjadi pijar - pijar yang terasa hangat dan nyata
bukan hanya dalam mimpi dan khayal saja....

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Sudah kukatakan padamu
bahwa akan kugenggam erat payung ini
sampai engkau mengatakannya "CUKUP"

Kutahu, karena setelah itu
kita tak kan lagi berlari di pematang
tak kan lagi berteduh di bawah pohon pisang selagi hujan datang

Ah......aku tak tahu apakah aku mampu
Tapi aku sudah berjanji padaNya
Inilah yang bisa untuk kulakukan
Saat kubisikkan padaNya bahwa aku jatuh cinta....

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Selalu ada air bening yang menggelantung di mata ini
Yang bercerita tentang perihnya memeluk angin
Ngilunya berdiri di tanah dingin yang meretak ini...

Tapi Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Tak perlu engkau khawatir
Karena dengan mantap akan
Segera kuhapus jika bulir air itu sempat membasahi tanahmu...

Cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Dibawah payung merah ini
Kan kuingat dan kuperam selalu keindahan simfoni kita
Yang selalu kita senandungkan bersama
Meski lirih dan kadang tanpa suara....

Ah.....
Semoga....
Engkau....
Bahagia ...

(Hanya untukmu, yang selalu mengeja senandung simfoni musim semi bersamaku, kala petang mulai menyapa malam)

read more

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ibu, Aku bahagia

Sabtu, 13 Agustus 2011
2 komentar

Sejenak kutatap wajah murung itu, sebelum aku menyapa murid-muridku. Entah mengapa wajah itu mengusik hati. A si wajah sayu adalah murid yang nilainya dibawah rata-rata untuk mata pelajaran yang aku ampu. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan nilainya, tapi wajah sayunya itu membuatku gelisah dan penasaran.

Sampai suatu saat, aku memanggilnya saat jam istirahat. Aku ingin berbicara dari hati ke hati dengannya. Tapi saat aku bertanya, ia hanya menatap ku dan menggeleng pilu, aku melihat air mata yang menggantung di bola matanya. Aku tahu ada banyak hal yang tak mampu disampaikannya dengan rangkaian kata-kata.

Akhirnya aku mengetahui persoalan keluarganya dari rekan guru. Rekanku bercerita bahwa ibu si A ini berselingkuh dengan pamannya (aku juga baru tahu kalau ayahnya menderita cacat di kaki dan bekerja di Jakarta). Pernah suatu kali temannya bercerita padaku : bu Meita, si A itu seringkali ingin bunuh diri. Ia merasa hidupnya sia-sia. Tenggorokanku tercekat, hatiku tersentak mulutku terkunci tak tahu harus apa mendengar laporan teman A ini.

Malamnya aku merenungkan peristiwa itu dan merasakan remuknya hati seorang anak kecil yang tak tahu harus berbuat apa. Aku juga tak dapat memahami sebesar apa beban berat A sehingga ia berkeinginan mengakhiri keceriaan masa kanak-kanaknya.

Lalu, aku mulai menuliskan surat untuknya.

A anakku, tahukah kamu bahwa Tuhan sangat mencintaimu. Engkau sangat berharga dimataNya. Ibu tahu kesedihan dan bebanmu. Tapi maukah kamu melupakan kesedihanmu. Banyak hal yang bisa kau lakukan. Buatlah dirimu berguna paling tidak bagi dirimu sendiri dan keluargamu. Percayalah selalu ada yang mendoakanmu dan ingin melihatmu kelak sukses dan bahagia yaitu saya. Percayalah Dia akan menopang hidupmu……Dia akan memberimu, yang terbaik dan semuanya akan indah pada waktuNya.

Keesokan paginya kuserahkan surat itu dan memintanya membaca dirumah. Hari berikutnya aku merasa lega karena A datang dengan wajah yang berbinar. Aku bisa kembali melihat canda tawanya.

Sejak itu A meraih kemajuan yang luar biasa untuk pelajaranku. Aku tak menyangka bahwa selembar kertas mampu merubahnya sedemikian rupa. Aku bersyukur boleh ambil bagian dalam perubahan hidupnya. Aku sangat bangga karena suatu ketika adiknya datang padaku dan berkata,
" Bu Meita ulangan Inggrisku bagus nilainya, kakak senang sekali mengajari aku pelajaran bahasa Inggris."

Oh Tuhan…. Bukan main bangganya aku. Ternyata A memperhatikan nasehatku agar ia berguna paling tidak untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

Saat kelulusan A datang padaku untuk mengucapkan terimakasih dan mengatakan bahwa ia tak akan melupakanku. Sesekali aku memantau perkembangan A. Entahlah sepertinya terjalin rasa untuk melindungi dia. Tapi aku tahu bahwa ibunya tidak suka padaku. A mengatakan padaku, 
"Bu jangan telepon kerumah, ke HP saja."

Sejak saat itu aku tidak lagi menghubungi dia. Sampai suatu saat dia meneleponku dan mengirim sms padaku. Sekali lagi ia mengatakan dan menulis bahwa ia tak akan pernah melupakan aku. Itulah terakhir kali ia menghubungi aku. Sepertinya sejak itu ia pindah ke Jakarta mengikutinya ayahnya. Aku tahu bahwa keluarganya ada masalah lagi yang cukup rumit sehingga A dan adik-adiknya harus mengikuti ayahnya. Tapi biarlah itu menjadi proses hidup A si guru kehidupanku.

Aku menulis catatan ini untuk mengenang A, merenungkan betapa hebatnya ia. Walau saat itu tergolong anak-anak, ia mampu menyimpan kepedihan hatinya, keburukan ibunya, beban keluarganya. Ia hanya menyimpan semuanya itu di matanya bahkan air mata pun tak sempat menetes dari matanya yang bening.

Jika suatu saat A membaca catatan ini, ketahuilah nak, ada orang yang masih dan selalu mendoakanmu . Ia menantimu datang, tersenyum dan berkata, Ibu aku bahagia…………..

Semarang, 14 April 2010


read more

Senandung Simponi Musim Semi

0 komentar

Selamat pagi cinta...
Pagi ini matahari sedang malas
Mendung bergelayut diatas langit sana
Daun daun pun enggan menari
Dan angin pun tak hendak berhembus ....

Tapi cinta, aku disini sedang bersenandung lirih
Menunggu sang kekasih menjemput ku
Ia berjanji, akan membawaku ke pematang dan hendak bergurau disana
Sambill menanti hujan membasahi kita,
Berlari diatas pematang,
Berteduh di bawah daun pisang,
Berdekapan dalam dingin hujan merenda kehangatan...

Cinta, aku masih bersenandung lirih
Karena tak mau suaraku nanti parau kau dengar
Dan iramanya pun masih sama dulu kemarin hari ini dan esok ...
Sama ketika aku mengatakan 'YA' saat kau tanya 
Hanya sajak-sajaknya saja yang kubuat makin indah ...

Mengertikah kau cinta dan masihkah kau simpan ragu itu di bilik hatimu?
Semoga siang nanti saat matahari sudah tak enggan lagi menyapa,
Engkau sudah datang menjemputku
Aku mau duduk berdua dalam diam
Karena aku mau membiarkan hati kita bicara dan bercanda
Sambil tangan kita saling menggenggam erat,
Sambil mata kita saling memandang penuh rindu

Dan akhirnya...
Biarlah CINTA yg agung itu sendiri bernyanyi di bibir kita
Mengalunkan nada nada yang sama ...

Cinta ..,
kutunggu engkau disini...
Bersenandung simponi musim semi...
Bersama dalam renda asmara.

Semarang, 2011
Ketika cinta membawaku ke masa lalu dan ingin membawanya kembali ke masa kini....



read more

Jumat, 12 Agustus 2011

Rahasia Angin

Jumat, 12 Agustus 2011
0 komentar

Ini tentang rahasia angin
Yang tak pernah bisa menggenggam matahari
Yang tak boleh memeluk walau sinarnya saja
Yang hanya bisa menatap penuh ingin…

Karena angin terikat janji pada dedaunan
Untuk mencumbu dan menghembusnya,
agar sejuk dunia ini terasa….

read more