Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Jumat, 26 Agustus 2011

Menapaki Jalan Kehidupan

Jumat, 26 Agustus 2011
Aku sedang menapaki jalan kehidupanku dengan hela nafas, keluh dan jenuh. Sunggguh terasa berat kaki ini melangkah. Raga ini terasa lemah tertatih. Kubawa saja kaki ini melangkah tanpa arah sebelum akhirnya terhenti sejenak di sebuah tempat pembuangan sampah akhir.

Kupandangi seorang pemulung tua yang dengan tekun memungut gelas – gelas air serta plastik – plastik bekas. Kulihat wajahnya basah penuh peluh. Tak sedikitpun ada rasa jijik terpancar dari wajahnya, apalagi lelah dan jengah.Padahal matahari dia atas sana sedang marah pada manusia yang hendak menguras habis sinarnya. Kuhampiri Bapak tua itu dan kutanya,

“Pak, tidak kah Bapak lelah di tengah terik surya yang murka ini?”
Bapak tua itu memalingkan wajahnya sejenak padaku dan bergumam,
“Hmmmm, bagaimana mungkin aku merasa lelah sedang Tuhan Sang Penguasa tak pernah letih menghitung tiap tetes peluh yang jatuh dari wajah dan tubuhku.”

Terpana aku mendengar jawaban yang luar biasa dari bibir lugu penuh kerut termakan usia. Kutinggalkan ia kembali pada kesibukannya sambil merenungkan jawaban penuh makna. Lalu kuteruskan langkahku, menapaki jalan kehidupan yang makin terik dan tak bersahabat hari itu.

Aku terhenti di sebuah pasar. Kuamati para kuli panggul menurunkan karung – karung beras dari atas truk untuk ditaruh di pundak kawan mereka. Mataku terpaku pada seorang ibu renta yang sedang mengumpulkan remah bulir beras yang tercecer dari karung-karung yang diturunkan para kuli panggul.

Tak paham apa yang dilakukan si ibu renta ini, kuhampiri dia,

“Ibu, apa yang sedang ibu lakukan?” tanyaku. Si ibu renta ini menatapku yang sedang keheranan, lalu jawabnya,
“Mbak saya sedang memungut satu persatu rejeki kehidupan.”
Kurang paham maksud si ibu renta ini, kubertanya lagi padanya,
“Ibu, apa maksudnya? Mengapa ibu memungut bulir beras yang sudah jatuh dan kotor itu?”

Dengan sabar si ibu renta ini menjelaskanku,
“Mbak, jika seorang renta macam aku, yang tak berpendidikan dan punya ketrampilan, maka cukuplah bagiku memungut satu persatu remah bulir beras yang Tuhan jatuhkan untukku.”
“Tapi, apakah itu cukup bagi ibu?” sergahku yang mulai mengerti apa yang dilakukannya.

Ibu renta ini tersenyum penuh arti padaku, dan berkata,
“Mbak, aku percaya Tuhan telah mencukupkan rejekiku untuk hari ini. Dia menghitung kerut di wajah juga airmata kepedihan yang jatuh dari mataku. Tak kan mungkin dibiarkanNya aku kekurangan,” lanjutnya.

Tercekat hatiku, mendengar jawaban ibu renta yang penuh optimisme ini. Aku mengagumi imannya yang luar biasa akan kebaikan Tuhan. Aku malu pada diriku sendiri, yang selalu meragukan kasihNya yang tak pernah berkesudahan.

Kulanjutkan lagi langkah kakiku di jalan kehidupanku. Kali ini dengan rasa dan semangat yang berbeda…..

Semarang 25 Agustus 2011
23.00 saat jalan kehidupan terasa panas, kering dan berdebu menyesak raga dan semangatku

0 komentar:

Posting Komentar