Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Senin, 15 Agustus 2011

Mama Teman Selisih Beda

Senin, 15 Agustus 2011

Mengingat mama, seperti mengingat kembali teman selisih beda. Mama yang mengalirkan darah yang sama ditubuhku. Mama yang pintar menulis dan menyanyi, dan yang sifat keras serta manjanya kuwarisi. Pernah kami tidak saling menyapa hampir 2 tahun lamanya. Namun itu terjadi sebelum aku menikah.

Setelah menikah, aku berbalik 180 derajat. Aku justru melihat mama dalam kelemahannya, dalam kecerewetannya, dalam kegalakkannya selalu menanamkan kebaikan. Mama yang ceria, mama yang selalu tertawa dalam tangis dan kepedihannya. (Oh ya mama bersama teman – teman jeng – jengnya punya genk yang ia namakan : Aliran Sesat – mama diangkat sebagai ketua oleh genknya yang selalu menemani para romo jika ada keperluan mengunjungi umat atau keperluan lain. Tak heran mama cukup dikenal dikalangan para imam)

Mama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kerja sosial. Dari organisasi koperasi kredit untuk kaum lemah dan miskin, Dharma Ibu yang bergerak di bidang pendidikan, Wanita Katolik Republik Indonesia dan masih ada beberapa lagi yang aku sudah tak ingat.

Mungkin aku tak pandai menceritakannya kembali dalam kata – kata karena aku menyimpan sakit hati dari kenangan masa kecilku. Akulah anak yang paling sering dimarahinya karena kebandelanku. Pernah aku merasa teramat sakit hati karena mama tega bersumpah, padahal aku ini anaknya dan waktu itu aku masih kecil. Sampai-sampai aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan menangis di depan mama. Aku tak ingin mengingat kepahitan masa kecilku. Biarlah kulupakan semua sakit hatiku dan mencoba tidak melakukan hal yang kurang menyenangkan terjadi padaku ke pada anak-anakku.

Mama adalah seorang pejuang yang cerdik dan tangguh, apalagi setelah Bapak meninggal. Mama pandai dan diplomatis dalam berorganisasi. Tanteku memberikan apresiasi padanya, saat mengenang mama. “Ta, mamamu itu walau pendidikannya paling rendah dibanding kami bertiga, tapi mamamu itu paling bijaksana dan cerdik. Terutama dalam menyelesaikan masalah – masalah pelik, mamamu pintar dan cerdas.”

Memang, mama adalah ibu rumah tangga yang hanya tamatan sekolah perawat. Sedang adiknya yang satu adalah seorang manajer hotel berbintang di Jakarta, dan yang satu lagi adalah seorang dokter spesialis. Kupikir semua itu karena mama lihai berorganisasi. Sehingga pelajaran – pelajaran hidup yang tidak ia dapatkan disekolah, justru ia dapatkan secara langsung dalam berorganisasi.

Mama paling dekat dengan adik kembarku. Sebenarnya, anak yang paling disayang dan dicintainya adalah kakak sulungku, dan ada satu lagi yaitu menantunya : Suamiku. Beliau sangat dekat dengan suamiku. Kadang – kadang aku suka berebut perhatian. Segala urusan organisasi sosialnya yang berurusan tentang laporan organisasi dibuat oleh suamiku. Mungkin saudara – saudaraku pun iri dengan kedekatan mama dan suamiku.

 Di bulan – bulan terakhir hidupnya setelah divonis kanker, mama hanya minta pada Tuhan supaya tidak merasa kesakitan dan menderita seperti yang dialami Bapak. Dan permintaannya itu didengar oleh Tuhan.   Hari itu sedang berlangsung PEMILU. Pagi – pagi mama menelponku,
“Mei, begitu ia memanggilku, kamu nanti setelah nyoblos kesini ya. Bawakan aku soto.”
Aku mengiyakan. Suaranya masih lantang dan sepertinya tak ada masalah. Sampai – sampai suamiku bilang,
“Hah, paling-paling mamamu cari perhatian dan pengin bermanja saja. Berangkatlah dulu nanti aku menyusul.”

Setelah menyoblos aku bergegas ke rumah mama. Sesampai disana, aku sungguh kaget melihat mama yang sudah sangat kepayahan. Aku sempat memarahi adik-adikku, kenapa mereka tidak segera membawa mama kerumah sakit. Kata adik-adikku mama menunggu aku dan suamiku. Beliau tidak mau dibawa kerumah sakit jika tidak ada aku.

Dalam perjalanan ke rumah sakit aku sungguh kalut melihat mama yang kepayahan dipangkuanku. Sepertinya beliau mencari suamiku dan ingin berpesan. Aku meminta mama tidak lagi berusaha berbicara dan aku hanya mengucapkan satu kalimat yang kuulang berkali – kali dan meminta mama juga menirukanku dalam hati.”Yesus, Engkaulah andalanku…….” Mama akhirnya diam dan tak lagi berusaha bicara. Sesampainya di Rumah sakit, di ruang IGD dokter memanggilku dan berkata,
“Bu, ibunda sudah meninggal.”

Aku terpana.
Jadi, dalam perjalan ke rumah sakit tadi mama sudah pergi, mama memilih meninggal di pangkuanku, teman selisih bedanya?

Hah….aku terpekur tak menyangka secepat itu mama pergi dan tanpa rasa sakit. Hal yang selalu dimintanya pada Tuhan. (Padahal kata dokter langganan kami, mama pasti merasa sangat kesakitan jika serangan itu datang. Hal itu ia katakan saat kami bertandang ke dokter tersebut untuk mengucapkan terimakasih atas perawatannya yang membuat mama merasa nyaman.)

Segera setelah mampu menguasai perasaan aku mengabari suami dan saudara - saudaraku. Suamiku sangat kaget dan menyesal karena sudah mengira mama rewel dan minta perhatian saja.

Mama sudah pulang kealam keabadian. Pelayat yang berdatangan luar biasa banyaknya dan tak habis – habis yang mendoakan beliau. Dalam kesedihan berpakaian hitam-hitam, aku bergumam bangga, Mamaku hebat! Dicintai dan dikenal banyak orang. Dari pedagang di pasar di daerah pecinanyang dilayaninya, sampai pejabat dan pengurus berbagai organisasi. Terimakasih Tuhan.


Terimakasih mama, pejuang tangguhku.
Terimakasih sudah mewariskan ketrampilan menulis padaku (ini kata Gendit lho ma!)
Juga terimakasih sudah memberi teladan untuk selalu mengabdikan diri di ladang Tuhan.
Aku bangga padamu.
Doa dan cinta kami anak cucumu…..

Mengenang mamaku – Ibu  Maria Margaretha Moedjiati
Pulang ke surga bahagia 20 September 2004.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Anda