Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Rabu, 24 Agustus 2011

Mendidik Bukanlah Hal Mudah

Rabu, 24 Agustus 2011
Mendidik bukanlah hal mudah. Hari ini aku belajar banyak hal tentang mendidik anak.

 Sulungku kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Pelajar. Ini adalah tahun kedua. Tahun lalu ia kost. Dan tahun ini dia memutuskan mengontrak sebuah rumah. Kupikir semua berjalan baik-baik saja tak ada masalah, karena aku menganggap sulungku sudah dewasa. Sampai suatu hari terdengar telepon berdering.

“Selamat malam, bu. Saya pak Heri. Bapak kos putra ibu” terdengar suara diseberang telepon.
 “Oh ya, selamat malam, pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku berdebar-debar. Ada apa gerangan si Bapak kos menelpon. Padahal sulungku sedang berada di Jakarta. Dia sedang kugembleng untuk belajar menghadapi hidup yang keras dan penuh tantangan ini.

 “Begini bu, putra ibu ini pindah kos, tapi kok ada barang yang bukan miliknya dibawa,” kata Bapak kos ini dengan suara yang mulai terdengar emosional.
 Aku tercengang mendengar berita itu. Lalu kataku sambil manata hati,
” Baik pak, coba saya tanyakan dulu pada putra saya. Nanti bapak saya kabari.”

Bergegas aku menelpon sulungku, mencari kejelasan permasalahan yang ada. Dia menerangkan bahwa memang dia membawa kasur itu karena di rumah kontrakan yang baru tidak ada fasilitas itu. Aku tahu bahwa sulungku tidak bermaksud mencuri atau melakukan tindak kriminal. Dia hanya bertindak praktis saja. Tapi tidak demikian dengan pemikiran si bapak kos. Kupikir ini juga salahku karena aku sering kali meminta sulungku untuk berhemat masalah keuangan, sehingga ia takut untuk membeli barang dengan nilai yang cukup besar.

 “TVku saja masih kutinggal disana kok, bu,” lanjut sulungku.
Tapi aku menjawabnya dengan keras,
” Kak, tahu nggak bahwa kamu itu sudah melakukan pencurian, tindak kriminal! Mengambil barang yang bukan milikmu!”, sahutku dengan nada tinggi.

Sulungku diam saja. Mungkin dia baru menyadari kesalahannya. Aku yakin dia tidak berpikir sejauh itu. Lalu aku meminta dia menelpon si bapak kos dan menyelesaikan segala permasalahan saat dia pulang ke Semarang nanti.

Setelah berbicara dengan sulungku, segera aku menghubungi kembali si bapak kos dan menerangkan permasalahan seperti apa yang diceritakan sulungku. Tapi sepertinya si bapak kos ini tidak terima dan masih saja terus mengejar. Ia seolah menyatakan aku sedang menyembunyikan seorang tersangka. Weleh weleh. Desakan dia membuat aku sedikit emosi dan aku berkata,

“Pak, jika bapak tidak sabar, sulung saya menitipkan TV pada temannya, silahkan bapak jual sebagai ganti kasur bapak itu. Jika masih kurang bilang saja dan beri saya nomor rekening bapak, kataku jengkel.”
Aku tak mengerti apa mau si bapak kos ini. Akhirnya telepon ia tutup dengan suara keras. Hah! Sabar….sabar…..

Seminggu kemudian si Bapak kos ini menelpon kembali dan menanyakan keberadaan sulungku. Untung saja yang menerima pembantuku. Kalau tidak, sudah pasti ia kudamprat. Ha ha ha….Sekembalinya sulungku dari Jakarta, aku segera menyuruh ia kembali ke Yogya untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Tapi ia menjawab bahwa ia akan ke Yogya sekalian mengikuti remidi. Dan kemarin adalah saat remidi itu. Aku berpesan padanya agar menyempatkan diri ke kos. Dan pesan itu kuulangi berkali-kali, sampai sulungku sedikit emosi.

Kupikir semua permasalahan tentang kos sudah beres. Sulungku sudah menyelesaikan masalahnya dengan ksatria dan mengakui kesalahannya.
Tapi……
Kringgggggggggggggggggggg. Terdengar telepon berdering.

”Selamat pagi, bu. Bagaimana dengan putra ibu. Mengapa belum datang kesini?, terdengar suara di ujung telepon.
Aku menjawab dengan tenang,
“Oh ya, pak. Kemarin dia baru berangkat dan mungkin baru hari ini. Karena kemarin ia harus mengikuti remidi di kampus”
“Baik bu, saya tunggu putra ibu,”  jawab si bapak kos bergegas menutup telponnya, mungkin takut ku damprat. Ha ha ha….

Aku segera mengecek apakah sulungku sudah menyelesaikan permasalahan ini. Ternyata aku dibuat kaget dengan jawabannya.
“Bu, ini aku sudah dalam perjalanan pulang Semarang, kasurku di pinjam teman dan akan dikembalikan besok. Hari ini dia sedang repot. Neneknya meninggal, Aku sudah bilang, temanku yang lain untuk bicara pada bapak kos” katanya.

Plakkkkkkkkkkkkkkk! Seperti ada tamparan keras di pipiku. Ah….mengapa, anakku jadi pengecut begini. Mengapa dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia telah berbuat salah.


 Kembali emosiku memuncak mendengar jawaban yang terdengar menyepelekan ini. Aku sungguh – sungguh tak mengerti dengan cara berpikirnya. Ku ambil nafas panjang. Dan aku merunut kembali. Mungkin aku yang salah. Aku tak mengajarinya bagaimana seharusnya seorang lelaki. Aku tak memberikan ruang baginya untuk menjadi seorang ksatria. Aku tak mengajarinya bahwa melakukan sebuah kesalahan bukanlah suatu dosa. Aku tak mengajarinya bahwa mengakui kesalahan lebih baik dari pada melarikan diri dari sebuah kesalahan.

Ya ! Ini semua salahku. Segera kuambil HP ku dan menelponnya kembali.
“Kak, ibu tak mau tahu. Kamu kembali ke Yogya, temui bapak kos, mengaku salah dan kembalikan kasurmu itu. Ibu tak punya anak seorang pengecut!. Ibu tak segan menyetujui bapak kos mu yang mengancam akan melaporkanmu ke polisi karena telah melakukan tindak kriminal, mengerti?”

Aku yakin bahwa setelah itu sulungku telah belajar banyak hal dari kesalahan yang mungkin ia tidak bermaksud untuk melakukannya. Terbukti si bapak kos tidak lagi menelponku. Semoga semuanya sudah beres. Dan yang terpenting bagiku aku sudah menanamkan pada sulungku, pelajaran hidup yang tidak ia dapatkan di teori - teori sekolah.

Membentuk karakter seorang anak tidaklah mudah. Segala yang kita pikirkan telah berjalan dengan baik ternyata tidak selalu demikian. Sebaiknya kita mawas diri dan belajar terus untuk semakin baik…..

Kutulis catatan ini sebagai pelajaran buatmu nak, bukan untuk menyudutkanmu. Agar menjadi pelajaran buat banyak orang juga.

Semarang 6 Agustus 2011



0 komentar:

Posting Komentar