Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Senin, 15 Agustus 2011

Memori Biru : Bapakku

Senin, 15 Agustus 2011

Ingatanku kembali pada 18 tahun yang lalu. Mengenang seorang pelindung yag sangat mengasihiku. Sosok yang terkenal keras namun penuh dengan cinta : Bapak !

Ah…kenangan manis masa kecilku seolah terputar kembali seperti sebuah slide Film Kehidupan. Teringat saat beliau menungguiku belajar dan akhirnya tertidur, lalu digendong dan diselimutinya aku, saat kami bersama saudara-saudara kami melewatkan masa liburan sekolah dengan berkunjung ke tempat – tempat wisata. Sosok yang sangat mengasihi keluarga.

Tapi tak kan juga kulupakakan, bagaimana kerasnya Bapak mendidik kami putra-putrinya. Teringat di suatu sore Bapak membawa ikat pinggang, sambil menunggu kakakku yang melakukan kesalahan besar. Tak cuma dengan ikat pinggang, Bapak juga tak segan mengikat kami seperti seorang kelelawar yang bergelantungan dengan kepala di bawah.

Ya begitulah orangtua jamanku mendidik anak-anaknya dengan keras. Jangan harap kita lakukan ini sekarang, bisa-bisa dilaporkan polisi.

Bapak dalam kegeeranku terlihat lebih menyayangi aku dibanding saudara-saudaraku. Sering aku meledeknya,
”Pak siapa yang paling disayangi? Aku kan?” tanyaku.
Beliau hanya terkekeh saja sambil bergumam,
“Ora wae, kabeh tak sayang. (Tidaklah, semua aku sayang).”

Bapak juga merupakan sosok yang welas asih. Pernah suatu ketika, ia memarahi mama karena menghajar aku. Beginilah ceritanya.

Aku ini adalah seorang anak yang tomboy dan iseng. Walaupun perempuan, tetapi teman bermainku kebanyakan laki-laki. Aku suka sekali bermain sepak bola dan bersepeda keliling kota. Aku juga suka memanjat pohon tinggi – tinggi. Seringkali mama memperingatkan aku supaya lebih feminim. Tapi  aku tak peduli. Aku tahu mama mungkin muak dengan kebandelanku. Hingga suatu sore, ketika aku sedang mengumpulkan teman – temanku untuk berkeliling kota, bermain ala detektif LIMA SEKAWAN, menyelidiki sebuah rumah yang kelihatan sunyi dan mencurigakan, terjadi hal yang membuat tanganku patah.

Rumahku terletak di pinggir sebuah jalan raya. Di depan rumah kami ada got yang cukup lebar. Setelah lelah asyik bermain kebut-kebutan, berteriak-teriak di jalan seolah dunia cuma milik kami, kami pulang. Sambil terus mengayuh dengan kecepatan tinggi aku meluncur dari arah atas jalan,  pulang menuju rumah. Dengan sok gaya aku melepas tanganku dari setang sepeda. Dan tiba –tiba……….Gubrakkkkkkkk! Terdengar suara keras. Sepedaku nyangkut di trotoar sedangkan aku terbang sebelum akhirnya tersangkut di saluran pipa air di depan rumah.

Malu, sakit dan bingung bercampur aduk. Terlihat juga wajah teman-temanku yang ketakutan. Beberapa dari mereka mengangkatku keluar dari got. Lalu keluarlah Mama dan Bapak dari dalam rumah.  Mama menggeleng – gelengkan kepala. Beliau terlihat kesal dengan aksiku. Sedangkan Bapak menatapku khawatir. Mama menyeret aku ke kamar mandi. Badanku belepotan dan bau got. Mama terus menyiram aku hingga bersih sambil terus mengomel. Sedangkan aku menahan rasa nyeri di tanganku juga di hatiku. Tak ada setetespun air mata keluar. Aku tak mau menunjukkan rasa sakit itu pada mama. Aku tahu aku yang salah. Bapak menenangkan mama.
“Wis to. Lihat itu anakmu tangannya patah,” kata Bapak sambil menunjuk tanganku yang terkulai seperti tak bertulang. Mama tak peduli. Sepertinya beliau sungguh – sungguh muak dengan kenakalanku. Akhirnya Bapak membawaku ke rumah sakit. Tanganku di gips. Ya Bapak ! Bukan Mama yang menolong aku!

Hmmm, aku sih sadar diri kalau mama muak dengan kenakalanku. Karena dari dagu, trus kaki dijahit karena jatuh, tabrakan berkali – kali sudah pernah aku alami. Dan selalu Bapaklah yang menolong aku.

Walaupun Bapak dikenal sosok yang keras hati, tapi beliau juga rapuh. Terutama pada Mama. Pernah suatu kali Bapak menangis di depan anak-anaknya, setelah bertengkar dengan Mama entah untuk masalah apa.

Bapak juga seorang yang ramah dan humoris. Seorang pemilik toko, tempat kami sering kulakan pernah menyatakan kekagumannya pada Bapak. Bapak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Cina, hanya karena sering nongkrong menunggui mama kulakan. Tertawa terbahak – bahak dan ngobrol apa saja. Suatu ketika si pemilik toko itu berkata pada Bapak,
“Sudah, Bapak duduk disini saja terus, karena kalau Bapak datang toko saya laris.”

Bapak dan aku sangat dekat. Ia suka bercanda denganku. Aku suka minta gendong di punggungnya. Sering tiba-tiba dari belakang aku melompat ke punggungnya tak mau lepas. Setelah itu pasti segera ia menjilat telapak tangannya dan melumuri dengan ludah untuk diusapkan ke wajah dan tanganku. Kalau sudah mulai jorok begitu biasanya aku berteriak – teriak dan akhirnya lompat turun dari punggungnya.

Ah…. Bapak….
Ia seorang yang sehat dan jarang sakit. Hingga suatu sore saat mengantar adikku berobat, teman – teman perawat mama menyarankan mereka berdua sekalian untuk check up. Bapak dan mama setuju. Tapi tak disangka setelah hasil di dapatkan, sore itu juga Bapak harus mondok di rumah sakit itu. Sejak saat itu hingga lima bulan berikutnya, Bapak hidup dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Pernah juga ia di bawa ke Jakarta. Hingga pada 24 Agustus 1993 Bapak kembali ke rumahnya yang abadi.

Umur orang siapa yang tahu. Berangkat sehat wal afiat tanpa keluhan. Hanya setelah check up diketahui penyakit kanker sudah bersarang ditubuhnya. Ternyata selama ini Bapak tidak pernah mengeluh walau mungkin ia merasakan sakit tapi tak pernah dirasan dan dikatakan. Luar Biasa!

3 tahun lamanya barulah aku cukup kuat untuk mengenang Bapak tanpa tangis.  Akan ku kenang selalu saat yang paling indah untukku.Itu adalah saat aku memenuhi janjiku pada Bapak untuk menyelesaikan studiku. Memang karena saat itu aku sudah menikah, punya anak dan bekerja membuat skripsiku terbengkalai. Tapi karena aku punya semangat berlomba dengan waktu untuk memenuhi janji ku pada Bapak. Maka dengan penuh semangat dan dibantu teman-teman yang sangat baik akhirnya selesai juga beban itu.

Saat wisuda usai, orang pertama yang kutemui adalah Bapak. Masih dengan atribut lengkap wisuda, berkebaya dan bertoga aku masuk keruang ICU. Tanpa mempedulikan orang yang keheranan melihat ada mahluk aneh di ruang itu. Aku serahkan Ijasahku sambil berkata pada Bapak,
“Pak, lunas hutangku!”
Beliau hanya memandangku bangga dan mengucapkan terimakasih.

Bapak sayang…………………………………………
Terimakasih telah mengukir wajahmu di parasku….
Memahat kasih di lubuk hatiku
Dan menanam kebaikan di jiwaku.

Akan kusenandungkan selalu lagu ciptaan mama saat aku terpekur mengenangmu…..

Terimakasih oh kekasihku
Terimakasih oh ayahku
Terimakasih oh sahabatku
Atas sgala cinta dan pengorbananmu
Harapanku dan doaku
Di Surga, tempatmu
Dan kau, kan slalu menjadi perantara sgala doaku…..


Mengenang 18 tahun Bp. Agustinus Moedjiono Nursivin di panggil Tuhan – 24 Agustus 1993

Secara khusus aku juga mau berterimakasih buat Tante Tien yang merawat Bapak di Jakarta, teman-teman kuliah mbak ndut and mas arnan yang membantu mengetik. Kewek yang selalu menyemangati aku. Dan semua sahabat-sahabatku Thanks banget…….Kalianlah malaikat – malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku….Terimakasih Tuhan…..

Skalian aku mau tertawa bersama teman2 masa kecilku, jeki, shulenk, risa, gatot alm ninonk, teman2 yang tergabung dalam geng yang aku lupa namanya : ha ha ha…. Ingatkah kalian teman2, saat kita mengendap – endap di rumah orang… dimana kalian sekarang?????? Haloooooo….

Oh ya....Buat Romo - romo, suster dan bruder dan saudara-saudaraku yang mengenal Bapak maupun yang tidak, yang sempat membaca note ini titip, tolong bawa bapak dalam doa kalian. Thanks

0 komentar:

Posting Komentar