Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Selasa, 13 Mei 2014

[Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan] Kekurangan Tidak Menjadi Penghalang

Selasa, 13 Mei 2014

Namanya Emy Prihatin. Emy. Ia mempunyai kekurangan: bibir sumbing. Tetapi ia berkeras untuk tidak operasi. Namun sepertinya, setelah Rekoleksi di Kaliurang, seorang donatur berhasil merayunya untuk bermetamorfosa menjadi kupu-kupu cantik. Emy setuju, dan dalam waktu dekat ia akan operasi. Emy memiliki prestasi yang membanggakan. Saat ini IPKnya 3,97. Selamat menikmati kisahnya

*****



“Kekurangan tidak menjadi penghalang bagiku untuk mewujudkan impian..”




Saya Berbeda
Nama saya Emy Prihatin, lahir di Pacitan, 31 Agustus 1994. Tempat tinggal saya di RT 01, RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokarto, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Saya adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Saya sangat bersyukur karena keluarga sangat menyayangi saya meskipun kondisi saya yang seperti ini. Ya, saya berbeda dengan anak lainnya.

Ayah saya adalah seorang petani dan ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu membiayai biaya hidup kami sehari-hari.

Saya sangat minder dengan kondisi saya yang tidak seperti anak lainnya. Ketika SD sampai SMP saya sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya waktu SMA sakit-sakitan itupun hilang.



Operasi?
Ketika saya masih kecil, saya sempat mau dioperasi bibir sumbing. Namun gagal karena saya demam dan menangis. Itu kata kedua orang tua saya.

Saya teringat, ketika kelas VI SD, wali kelas memanggil saya. Saya duduk di ruangan itu bersama dengan wali kelas. Saya sempat berpikir mengapa saya dipanggil? Apa mau dihukum? Saya salah apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya.

Kemudian Guru pun memulai pembicaraan.

“Kamu kan sudah mau ke SMP, apa kamu nggak mau operasi?”

Saya terdiam tidak menjawab.

“Apa kamu nggak malu waktu SMP nanti kalau kamu nggak operasi?”

Saya masih terdiam. Seketika saya langsung pucat dan tubuh saya mendadak dingin. Saya hanya bisa menjawab “iya” dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru saya waktu itu. Tetapi, meskipun saya menjawab iya, saya tetap tidak operasi karena perasaan takut yang menyelimuti. Setelah kejadian itu, di tahun 2006 saya pun alhamdulillah lulus dengan hasil yang cukup memuaskan.



Saya Berbeda tetapi Saya Bisa
Dengan hasil nilai yang saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke SMP Negeri 2 Ngadirojo. Saya banyak mengikuti kegiatan: ekstra kurikuler seperti PMR dan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain itu, saya juga mengikuti kursus komputer di luar sekolah.

Tahun 2009, saya lulus dengan hasil yang memuaskan. Meski tidak mendapat juara 1, namun masih bersyukur mendapatkan juara 3. Setelah lulus dari SMP saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Ngadirojo.

Saya sangat menyukai tantangan, hingga berbagai ekstra kurikuler saya ikuti. Dan saya juga terlibat dalam berbagai macam organisasi



Lagi-lagi Pertanyaan yang Sama
Pertanyaan yang sama kembali dilontarkan oleh kepala sekolah SMA saya.

Tanpa basa basi beliau bertanya,

“Sebelumnya maaf ya, Em. Kenapa kamu tidak mencoba untuk operasi?”

Suaranya sangat pelan, mungkin takut saya tersinggung.

Dan “deg..” Lagi-lagi pertanyaan itu. Jantungku serasa berhenti sejenak. Saya pun langsung menjawab dengan singkat

“Tidak, Pak”.

Kepala sekolah menyambung,

“Kenapa? Apa kamu takut?”

“Bukan masalah takut nggaknya, Pak. Memang saya nggak mau operasi. Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Allah untuk saya. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Saya tidak mau mengubah nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Ini memang sudah takdirnya, Pak.”

Lalu Kepala sekolah saya menyambung dengan sangat lembut dan penuh pengertian,

“Ya kalau kamu operasi, itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi hanya memperbaiki saja supaya menjadi lebih baik. Ibarat baju yang kotor dicuci biar bersih. Bukan mengubah nikmat Tuhan”

Saya hanya diam. Memang saya tahu itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi tidak tahu mengapa hati kecil saya mengatakan “TIDAK!!” Ketika itu saya tetap bersikeras untuk tidak operasi meskipun kepala sekolah tetap meyakinkan saya.



Dan pada akhirnya beliau menjabat tangan saya seraya berkata,

“Iya nggak apa-apa. Saya salut sama kamu. Tetap semangat ya.”

Saya mencoba untuk tersenyum, menahan air mata yang ingin tumpah. Saya segera permisi untuk kembali ke kelas. Bahkan, entah mengapa sampai sekarang hati kecil saya tetap berkata tidak untuk operasi, meski selalu ada tawaran untuk operasi dari berbagai pihak. Pernah saya menangis semalaman meratapi hidup saya. Sampai menyalahkan Tuhan kerena putus asa. Saya tahu itu salah. Tak seharusnya menyalahkan Tuhan. Itu adalah hal yang terbodoh yang pernah saya lakukan. Saya yakin, Tuhan akan memberikan yang terbaik. Dan di setiap cobaan pasti akan ada hikmahnya. Dan saya sangat beruntung mempunyai orang tua yang sangat menyayangi saya. Mereka selalu menyemangati. Apalagi ibu saya, seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk saya.



Tidak Ada Kata Menyerah
Dengan berbekal nilai yang saya peroleh, saya mendaftar di Universitas Negeri Yogyakarta dan di Universitas Negeri Surabaya dengan mengambil jurusan Manajemen sebagai peserta bidik misi. Saya sangat berharap untuk bisa diterima lewat jalur ini, sebab memungkinkan untuk kuliah secara gratis selama empat tahun. Namun saya sempat kecewa ketika diumumkan bahwa saya tidak diterima. Keinginan saya melanjutkan ke perguruan tinggi terkendala kondisi ekonomi keluarga kurang memungkinkan.

Kesulitan ekonomi disebabkan karena sumber penghasilan yang sangat minim. Kebanyakan sumber penghasilannya adalah dari hasil menjual rempah-rempah seperti kunyit, jahe, dan laos. Harga jual kunyit 1 kg nya Rp 1.400, jahe Rp 3.000, dan laos Rp 700. Kalau sedang musim kemarau bisa mengambil daun-daun cengkih yang sudah kering untuk dijual per kilogramnya Rp 2.000. Tetapi kalau lagi musim hujan, harga jual daun cengkeh dan rempah-rempah menurun. Terkadang juga tidak laku.

Setiap mengumpulkan rempah-rempah, dapatnya tidak sampai berpuluh-puluh kg. Kadang 16 kg, kadang 20 kg. Panen cengkeh 3 tahun sekali. Namun, karena semangat saya yang tinggi untuk melanjutkan kuliah, orang tua saya bekerja keras untuk bisa membiayai kuliah saya. Akhirnya saya mendaftarkan diri di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun dengan mengambil jurusan Akuntansi. Saya pun diterima dan saya menimba ilmu di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Dan di sinilah saya mulai mengenal AAT (Anak-Anak Terang).



Beasiswa AAT
Berawal dari Semester II, saya didaftarkan untuk mengajukan beasiswa AAT oleh Pak Bernardus Widodo, Wakil Rektor III Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Saya pun mulai melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Hingga akhirnya waktu wawancara tiba. Ketika itu wawancara mengambil tempat di Panti Asuhan St. Aloysius Madiun.

Jantung saya berdetak kencang, entah apa sebabnya. Mungkin takut campur cemas. Detik demi detik bergulir, dan akhirnya giliran saya untuk diwawancarai. Waktu itu yang mewawancarai adalah Bruder Yakobus, CSA. Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan polosnya. Mulai dari pendidikan, pekerjaan orang tua, kondisi ekonomi dan lain sebagainya.

Sepulang dari wawancara, saya mulai menduga-duga. Terima.. Tidak.. Terima.. Tidak.. terus begitu. Dan akhirnya waktu pengumuman tiba. Nama demi nama disebutkan oleh Pak Hadi Santono selaku ketua Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia. Saya mulai cemas. Dan akhirnya nama saya disebut sebagai penerima beasiswa AAT. Saya seperti tidak percaya. Dalam hati saya langsung bersyukur kepada Tuhan dengan nikmat yang diberikan untuk saya. Saya senang sekali bisa mendapatkan beasiswa AAT ini. Apalagi saat melihat kedua orang tua saya tersenyum bahagia ketika tahu saya mendapatkan beasiswa AAT. Tak henti-henti saya bersyukur kepada Tuhan dengan Rahmat dan Nikmat yang diberikan-Nya.

Di samping dapat meringankan beban kedua orang tua, di AAT saya juga mendapatkan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga. Dari wawancara dengan calon anak asuh yang bermacam-macam ceritanya. Sangat banyak pengalaman ketika kunjungan dan wawancara yang kesemuanya tidak mungkin saya ceritakan satu per satu. Pengalaman pertama adalah kunjungan ke SDK dan SMPK Santo Yusuf Madiun untuk menemui PJ sekolah, karena ketika itu saya langsung menangani 2 sekolah tersebut. Awalnya saya bingung, tetapi setelah lama-lama akhirnya terbiasa.



Terima Kasih AAT
Dengan bantuan dari Beasiswa AAT ini saya sangat berterimakasih, karena telah membiayai kuliah saya terutama untuk bapak/ibu donatur, Pak Hadi Santono, dan Pak Christ Widya. Saat ini saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk lebih meningkatkan prestasi supaya tidak mengecewakan pihak yang telah bersedia untuk membiayai kuliah saya. Tuhan yang akan membalas kebaikan bapak/ibu donatur. Semoga bapak/ibu donatur selalu diberikan rahmat dari Tuhan dan selalu dalam lindungan-Nya. Dan tentunya dengan semangat, usaha dan doa, saya berharap suatu saat nanti bisa menjadi orang sukses dan bisa berbagi dengan orang lain seperti bapak/ibu donatur. Amin.





Seperti yang dikisahkan oleh Emy Prihatin*

Staff Admin AAT Madiun

Emy Prihatin adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswi Program Studi Akuntansi, UNIKA Widya Mandala Madiun, angkatan 2012.

0 komentar:

Posting Komentar