Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Kamis, 16 Januari 2014

Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan - Gadis Bunga Kamboja

Kamis, 16 Januari 2014
Sahabat Baltyra, satu kisah tentang Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan telah saya sajikan. Saya mengundang anda semua menyisihkan Rp.50.000 – Rp.100.000/bulan bagi 1 orang anak asuh, jika anda memiliki rejeki lebih. Seperti cerita salah satu kontributor kita, pak Tjipta Effendi dalam sebuah kisahnya yang dimuat di Kompasiana tentang Roti yang tak pernah busuk, saya pun yakin secuil roti yang anda bagikan ini tak akan pernah busuk bagi penerimanya. Selamat menikmati kisahnya, jangan lupa siapkan tisu, dan mampirlah di www.anakanakterang.web.id *** 8 Desember 2013, adalah hari terakhir survey sekolah dan wawancara calon anak asuh Yayasan Anak-anak Terang (AAT) Indonesia untuk sekolah-sekolah wilayah karesidenan Madiun. Sekolah yang mendapatkan giliran terakhir untuk disurvey adalah SMPK Garuda Parang, Magetan. Banyak sekali cerita yang membuat saya senang, sedih, terharu, kagum bahkan terheran-heran. Kebetulan hari itu, saya mendapatkan giliran untuk mewawancarai seorang siswi kelas VIII. Gadis ini begitu hebat dan mampu membuat saya makin bersyukur atas hidup ini. Namanya Ayu (nama asli disamarkan). Garis-garis kecantikan terukir di wajahnya. Rambutnya panjang diikat rapi. Bulu matanya lentik dan bibirnya tipis. Warna kulitnya eksotis. Dalam wawancara awal, saya meminta Ayu untuk bercerita tentang keluarganya, dan dengan tersendat-sendat Ayu mengawali kisahnya. “Saya 5 bersaudara. Kakak saya nomer satu dan dua sudah kerja mbak, dan…” Ayu menghentikan ceritanya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca. Aku terdiam memberinya kesempatan untuk melanjutkan cerita. “Kakak saya nomor tiga meninggal satu tahun lalu, padahal dia adalah kakak yang paling saya sayangi. Dia yang paling mengerti saya.” Air mata Ayu tak terbendung. Aku hanya bisa menatapnya iba dan mengulurkan tissue untuk menghapus airmatanya. Setelah agak tenang, ia menerawang ke langit-langit dan melanjutkan ceritanya dengan suara yang tercekat. “Kakak saya meninggal terlindas truk Mbak” Deg! Jantung saya serasa berhenti berdetak, sesak! “Semenjak ditinggal kakak saya, kehidupan saya berubah. Selama ini yang membiayai sekolah saya adalah kakak saya yang nomor tiga. Kakak-kakak saya yang lain kurang peduli pada saya.” Ayu menangis kembali. Saya sendiri sibuk menahan air mata tak ingin menunjukkan kesedihan. “Sabar ya Dek. Jangan merasa hancur. Kehidupanmu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan, masih banyak yang harus kamu perjuangkan. Kepergian kakakmu pasti ada hikmahnya untuk kamu. Dan Tuhan tahu kamu adalah perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa menghadapi semua ini.” “Iya Mbak, saya akan terus berjuang demi cita-cita saya dan demi cita-cita kakak saya.” “Memangnya apa cita-cita kakak kamu.?” “Kakak saya ingin saya sekolah sampai SMA, Mbak. Karena itu dulu kakak saya berjuang mati-matian demi membiayai sekolah saya. Dan setelah kakak saya meninggal, saya ingin sekali mewujudkan cita-citanya. Tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya agar saya bisa melanjutkan sekolah saya.” “Bagaimana dengan Bapakmu? Beliau masih bisa membiayai kamu, kan?” “Bapak saya hanya petani kecil, Mbak. Sawahnya cuma satu petak dan hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.” “Bagaimana dengan ibu kamu?” “Ibu tidak bekerja, ia di rumah mengurus adik saya.” “Berarti hanya bapakmu yang mencari nafkah, Dek?” “Tidak Mbak. Saya juga ikut membantu bapak mencari nafkah.” “Lho, kamu kerja? Kerja apa?” tanyaku penasaran. “Setiap pulang sekolah, saya mengumpulkan bunga Kamboja yang ada di kuburan.” “Buat apa dek bunga Kambojanya?” “Buat dijual Mbak. Biasanya saya sampai maghrib mengumpulkan bunga Kamboja. Sepulang dari mencari bunga Kamboja, saya mencari rumput untuk makan kambing nenek saya. Biasanya saya bawa senter.” Saya tercekat dan langsung terdiam. Saya tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh, Ayu membuat saya kagum. Di usia yang masih terbilang remaja, ia harus mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Saya kira kisah seperti ini hanya ada dalam sinetron atau dalam acara televisi saja. Namun ternyata saya mendengar sendiri kisah itu. “Kamu tidak takut,dek di kuburan malam-malam? Nanti kalau kamu bertemu setan gimana? Kalau ada yang loncat-loncat gimana? Tanyaku sambil bergurau. “Tidak Mbak. Demi cita-cita kakak saya, saya akan terus berjuang dan tidak akan menyerah.” Sampai di situ, saya pikir bisa sedikit menghiburnya dengan guyonan saya. Ternyata dia tetap berbicara dengan serius sambil sesekali mengusap air matanya. “Biasanya sehari dapat seberapa bunga Kambojanya, Dek? harganya berapa?” Saya mulai melanjutkan pertanyaan saya. “Sehari dapat satu kresek kecil Mbak. Kalau sedang musim berbunga seperti ini biasanya saya dapat lebih banyak. Sampai rumah bunga-bunga itu saya jemur dan saya kumpulkan sampai satu kilogram. Setelah itu saya jual dengan harga lima puluh ribu.” “Wah, banyak dong lima puluh ribu. Berapa hari sekali bisa dapat lima puluh ribu Dek?” “Sebulan sekali Mbak. Itu pun kalau sudah terkumpul satu kilogram.” “Haaaaaa.. Sebulan?” seruku keheranan. “Iya Mbak, dan uangnya saya berikan pada ibu untuk belanja sehari-hari.” “Mengapa tidak kamu pakai untuk uang jajan kamu saja Dek?” “Tidak Mbak. Kasihan ibu. Ibu tidak bekerja dan bapak juga hanya bisa memberi uang sedikit.” “Terus bagaimana dengan uang jajanmu Dek?” “Saya jarang beli jajan Mbak. Kalaupun ingin jajan, saya akan mengambil sedikit uang dari hasil menjual bunga Kamboja. Kadang lima ratus kadang seribu.” “Uang lima ratus memang cukup untuk beli jajan Dek?” “Cukup Mbak. Untuk beli permen yang akan saya bagi dengan adik saya.” “Baik sekali hatimu Dek. Mbak bangga sama kamu. Jangan pernah putus asa ya. Tuhan tidak akan membuat apa yang kamu perjuangkan menjadi sia-sia.” “Iya Mbak.” Cerita demi cerita saya dengarkan sendiri darinya. Bagaimana perjuangannya berjalan kaki kiloan meter setiap hari karena tidak punya kendaraan yang bisa dipakai. Juga perjuangannya mengumpulkan bunga Kamboja setiap hari yang hasilnya tidak seberapa. Kepedihan dan perjuangannya menghadapi kerasnya hidup, menahan kesedihan atas kepergian kakak yang sangat ia sayangi dan kekasaran bapaknya karena himpitan ekonomi. Saya sangat kagum padanya. Dia yang begitu polos, ikhlas membantu sang Ayah mencari nafkah. Padahal dia sering mendapat perlakuan kasar. Tetapi menurutnya, semua perlakuan kasar yang diterimanya adalah untuk kebaikan dirinya juga. Sejahat apapun bapaknya, ia tetap menyayangi kedua orang tuanya. Kebaikan hatinya yang begitu tulus itu telah membuka hati saya untuk lebih peduli lagi dan bersyukur atas kehidupan ini. Dalam hati saya berkata : Kamu pasti bahagia kelak, Ayu. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan itu. Mungkin saat ini hidupmu tak seindah kilauan permata. Namun kebaikan hatimu, melebihi harumnya bunga Kamboja. Tetap semangat. Tuhan tidak akan membiarkanmu terus merana. Karena kuncup bunga akan mekar dan mewangi pada waktunya.. Diceritakan oleh Farhana Rike Kotikhah (Relawan AAT Madiun) Read more: http://baltyra.com/2014/01/09/perjuangan-anak-bangsa-mengenyam-pendidikan-gadis-bunga-kamboja/#ixzz2qYD2W0n9

0 komentar:

Posting Komentar