Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Rabu, 07 November 2012

Kurikulum? Apa Itu?

Rabu, 07 November 2012
Kurikulum? Apa Itu?


Kurikulum berasal dari kata dasar bahasa Perancis yaitu Curricula yang artinya adalah PENGALAMAN. Tapi benarkah kurikulum di Indonesia disusun agar siswa memperoleh pengalaman dalam proses pembelajarannya?

Pernahkah anda perhatikan tas anak-anak SD sekarang. Itulah cerminan kurikulum kita sekarang. Besar, berat, seolah penuh tapi sebenarnya kosong tak berisi, hanya sekedar membuat pegal dan mungkin salah urat.

Pada kenyataannya banyak sekali materi pelajaran di sekolah yang tak ada gunanya di tingkat selanjutnya. Bahkan saya sering kali merasa tidak mempunyai SKILL of LIFE yang mendasar : bagaimana mencuci pakaian putih agar tetap terjaga warnanya (Ini masalahku sejak ditinggal aspriku menikah, ha haha ha). Pelajaran di sekolah masih sekedar menjadi teori, bukan penerapan atau aplikasi. Bahkan guru seringkali tak mengerti soal yang dibuat dan jawabannya, karena mereka membuat soal sekedar mencontek kunci. Dan jika siswa menjawab tidak sesuai kunci maka disalahkan. Kreatifitas siswa dibelenggu karena keterbatasan pengetahuan guru.

Saya cukup terganggu dengan guru anak saya yang membuat soal seperti ini :

1. Tiga bilangan yang merupakan kelipatan 8 adalah ….
- Jawaban anak saya : 16, 24 dan 32.
Ternyata jawaban anak saya disalahkan.Karena jawaban yang benar adalah : 8, 16 dan 24.
Lalu saya membuat catatan pertanyaan pada gurunya : Guru yang baik, untuk pertanyaan tersebut diatas jawabannya yang salah, atau pertanyaannya yang kurang lengkap?  

2. Guna gigi taring pada hewan karnivora adalah ….
- Jawaban anak saya : mencabik-cabik makanan.
Jawaban yang benar menurut guru adalah : memotong makanan.
Lalu saya menuliskan lagi pertanyaan saya pada guru tersebut : Guru yang baik, apakah gigi taring tidak bisa digunakan untuk mencabik-cabik makanan?

Itulah potret guru yang tidak bisa menghargai kreatifitas dan perbendaharaan kata siswa. Membatasi kreatifitasnya hanya pada kunci jawaban. Tetapi seringkali mereka melupakan hal-hal prinsip dalam pendidikan karakter anak : KEJUJURAN.

Pernah suatu ketika saya memprotes keras ketika sang guru menghukum seluruh siswa laki-laki, karena sebagian dari mereka membuat keributan setelah jam istirahat. Hukuman yang diberikan adalah menulis satu lembar penuh : SAYA MEMBUAT KERIBUTAN DI KELAS SETELAH ISTIRAHAT.
Anak saya minta tanda tangan pada saya.

Lalu saya bertanya,
“Memangnya dek Vento ikut ribut?”
Dia jawab,
“Enggak bu, aku justru yang membariskan teman-teman.“  
Lanjut saya,
“Kenapa dek Vento tidak ribut tapi mau menulis pernyataan itu. Kalau kamu menulis artinya kamu mengakui bahwa kamu membuat keributan. Kamu harus berani mengatakan tidak, jika memang tidak melakukan. Jangan sampai kamu mengakui kesalahan yang tidak pernah kamu lakukan. Kalau itu terjadi, nanti kamu tidak mencuri tetapi disuruh mengaku karena dipaksa, kamu bisa masuk penjara dek.”
Jawab Vento, “Semua anak laki-laki disuruh menulis kok bu.”

Akhirnya saya menulis di agenda Vento,
“Guru yang baik, apakah memang demikian cara mendidik siswa. Mengakui hal yang tidak dilakukannya. Saya setuju kalau demi keadilan ibu menghukum semua murid karena mungkin mereka menutupi suatu kesalahan. Tetapi mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya adalah hal prinsip dalam pendidikan karakter anak. Saya sangat keberatan. “

Dan akhirnya sang guru itupun minta maaf dan minta supaya hal ini tidak diperpanjang. He hehehe… malah Curcol ya…!

Ok kembali ke masalah kurikulum, mungkin ada baiknya pemerintah tidak gegabah mengganti kurikulum setiap kali ganti cabinet. Lebih baik kita mengadakan riset terlebih dahulu sebelum meggodoknya menjadi suatu kurikukulum yang pakem dan sungguh-sungguh membumi.

Berikut saya sadurkan cerita dari blog AYAH EDI, seorang penggiat pendidikan tentang wajah pendidikan kita.

Syahdan di tengah hutan belantara, berdiri sebuah sekolah binatang dengan satus “DISAMAKAN” dengan manusia. Kurikulum sekolah tersebut mewajibkan siswanya lulus dan mendapatkan ijasah dengan nilai minimal 8 pada 5 mata pelajaran. Kelima mata pelajaran pokok itu : terbang, berenang, memanjat, berlari dan menyelam. Mengingat sekolah itu berstatus DISAMAKAN dengan manusia, mereka berharap kelak dapat hidup lebih baik dari binatang lainnya. Maka berbondonglah para binatang mendaftarkan diri untuk bersekolah disana, walaupun ongkosnya cukup mahal. Ada elang, tupai, bebek, rusa, katak dan masih banyak lagi.

Elang, sesuai kemampuannya mahir terbang tinggi, tupai unggul pada pelajaran memanjat, bebek piawai berenang, sedang rusa luar biasa dalam berlari, dan katak sangat hebat pada pelajaran menyelam. Para binatang tersebut piawai pada bidang keahliannya masing-masing. Namun sayang, sekolah tersebut mewajibkan muridnya mempunyai nilai minimal 8 pada 5 mata pelajaran pokok. Maka justru kekacauanlah yang terjadi. Elang yang tidak pandai berenang, memanjat dan berlari harus berusaha keras pada mata pelajaran yang tidak disukainya itu. Demikian juga binatang yang lain. Para binatang mulai stress. Dan parahnya, petinggi hutan pun mewajibkan semua sekolah mempunyai nilai yang baik pada ujian akhir. Alhasil, karena tidak mau mengecewakan pimpinan, maka petinggi daerah pun juga mewajibkan semua pengelola sekolah untuk berusaha sebaik-baiknya meraih target yang diharapkan. Maka mereka mulai merancang pelajaran tambahan, try out, rekayasa nilai dan lain sebagainya.

Tentu saja para binatang yang keahliannya tidak sama itu semakin lama semakin stress. Mereka kehilangan gairah belajar. Elang sempat pingsan saat ujian berenang, tupai lebam-lebam sekujur tubuhnya saat ujian terbang, bebek bulu-bulunya rontok begitu juga rusa, katak dan binatang lainnya. Mereka justru kehilangan keahliannya masing-masing. Akhirnya justru para binatang tersebut tidak lulus semua. Mereka tidak lagi bisa hidup di lingkungan tempat mereka tinggal dulu. Dan akhirnya mereka mati.

Begitulah cerita sekolah binatang yang tidak jauh dari potret pendidikan kita saat ini. Dulu saat saya sekolah, masalah tidak lulus bukanlah hal yang besar. Tapi saat ini, sepertinya tidak lulus adalah suatu DOSA besar. Ini semua akibat tuntutan dari Negara yang melebihi kapasitas siswa.

Bila kita mau jujur, sistem pendidikan kita saat ini, jauh lebih menyeramkan dari cerita diatas. Dengan tuntutan yang tidak realistis, justru pihak pemerintah daerah hingga pengelola sekolah sampai muridnya menghalalkan segala cara, agar memenuhi target dari pemerintah pusat. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana sekolah ikut ambil bagian dengan menyebarkan kunci jawaban dan segala macam cara lainnya yang tidak terpuji saat Ujian Nasional.

Lalu apa yang menjadi biang keladi dari kehancuran sistem pendidikan kita? Menurut Ayah Edi, ada beberapa hal :
1. Sistem yang tidak menghargai proses
2. Sistem yang mengajari anak untuk menghafal, bukan belajar dalam arti sesungguhnya
3. Sistem yang berfokus pada nilai
4. Sistem pendidikan yang seragam
5. Sekolah adalah institusi pendikan yang tidak mendidik (tapi sekedar mengajar)
6. Sistem pendidikan berbasiskan kelas dan teori
7. Sekolah yang menghakimi siswa dengan sistem perankingan (Sekarang sudah tidak ada lagi sistem perankingan)
8. Sistem pendidikan yang tidak bertujuan jelas
9. Sistem pendidikan yan berbasiskan tulisan – tidak berdasarkan realitas kebutuhan hidup dan Skill of life (terbukti ujiannya pun adalah ujian tertulis)
10. Pandangan yang rendah pada mata pelajaran non-eksakta
11. Maraknya sekolah unggulan, imersi dlsb Masih banyak lagi biang keladi yang bisa dijabarkan.

Maka ketika Pak Handoko, yang mempunyai akses ke jalur pendidikan di tingkat atas, menuliskan tentang perubahan kurikulum, membuat saya sungguh berharap perbaikan wajah pendidikan kita di masa mendatang.

Semoga…….

0 komentar:

Posting Komentar