Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Selasa, 13 Mei 2014

Malaikat Kecilku

Selasa, 13 Mei 2014

Minggu sore kali ini sungguh berbeda dari biasanya.

Hari ini, 9 Desember 2013, Vento berulang tahun yang ke-11. Sekaligus adalah hari pertama ia menghadapi Ulangan Umum Semester-1. Juga hari itu adalah pertama kalinya, ia menghadapi UUS tanpa pendampinganku.

Sejak menikmati roller coaster kehidupan yang luar biasa ini, keluarga kecil kami terpisah-pisah. Suamiku bekerja di Jakarta, 1 putraku kuliah di Jogja, 1 putriku kuliah di Malang, 1 orang putriku tinggal bersamaku menempati sebuah rumah keluarga di kota atas – Semarang, dan Vento putra bungsuku tinggal bersama omnya di daerah Semarang, karena ia tidak mau pindah sekolah.

Di awal aku mendapatkan tiket untuk menaiki roller coaster itu, aku hanya bisa menyimpan air mata kepedihan, ketakutan yang kadang aku seka agar tak seorangpun melihatnya. Tapi aku telah bertekat untuk menikmati tantangan ini, berayun, menangis melawan takut dan kadang tertawa geli menikmati derasnya ayunan itu.

Yah, tapi malam ini, perasaan itu menjadi suatu ramuan rasa yang entah apa namanya tak dapat kutemukan definisinya.

Biasanya Sabtu sore, Vento melewati akhir pekan bersamaku di rumah atas. Ia kembali ke rumah omnya hari Minggu Sore. Tapi sore ini, ia terlihat malas sekali. Ayahnya telpon berkali-kali mengingatkan bahwa ia harus pulang pukul 4 sore, agar bisa mempersiapkan UUS dengan baik. Aku pun juga sudah memberi pengertian padanya,

“Dek kan besok UUS, pulang jam 4 ya.” Vento hanya terdiam mengangguk.

Hari ini aku cukup lelah. Sepulang dari gereja, dilanjutkan pertemuan Lektor hingga pukul 12 lebih. Setelah itu aku mendampinginya belajar.

Tak lama setelah itu kami makan siang bersama di sebuah Resto, sekedar melepas penat. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Aku mengatakan pada Vento agar belajarnya dilanjutkan, sebentar ibu istirahat.

Pukul 4 sore aku bangun. Aku berseru menyuruh Vento bersiap mandi. Keluar dari kamar kulihat ia tertidur di bangku depan kamar. Kudekati dan kupijat kakinya. Kulihat matanya terkatup tetapi berkedip-kedip, menunjukkan ia pura-pura tidur.

Kuhela nafas, aku tahu bahwa ia tak mau pulang. Akhirnya kubiarkan ia tertidur sungguhan.

Pukul 5 sore, aku membangunkannya sekali lagi. Kali ini dia bangun. Aku tak tega, akhirnya aku menawarkan :

“Adek mau pulang besok aja?”

Matanya berkejap bahagia, dan ia mengatakan:

“Kalau ibu boleh aku mau aja. Tapi apa ibu gak repot harus ngantar aku dulu sebelum ke kantor?”.

“Ya, gak masalah kalau sekali-sekali.”

“Ya udah to, sebentar aku SMS om, kasih tau aku gak pulang ya bu.”

Sepertinya ia tak menyia-nyiakan kesempatan.

Aku menelpon suamiku mengabarkan hal ini. Suamiku sepertinya keberatan karena aku harus bangun pagi-pagi dan naik sepeda motor sendiri. Padahal jarak rumah, sekolah vento dan kantorku jauh. Plus macet dan banjir di musim hujan seperti sekarang.

Biasanya aku numpang mobil kantor tanpa perlu susah payah. Tapi aku memberikan pengertian, bahwa Vento ingin belajar didampingi ibunya. Akhirnya suamiku mengerti.

Jam belajar sudah usai. Kami akan pergi tidur. Aku menelpon suamiku, mengajaknya berdoa bersama. Sungguh suasana menjadi haru, ketika giliran Vento berdoa:

“Tuhan aku bahagia mempunyai keluarga yang membanggakan. Meski kami berjauhan kami bisa berdoa bersama saat ini. Besok usiaku bertambah 1 tahun. Berilah aku kesehatan. Besok aku menempuh UUS. Berkatilah aku supaya aku dapat mengerjakan dengan baik. Aku juga mau berdoa untuk ayah yang berada di Jakarta , semoga ayah selalu sehat, Kau berikan rejeki agar dapat menafkahi kami sekeluarga. Berkati juga ibu yang sementara ini harus menjadi kepala keluarga. Berilah ibu kesehatan dan ketabahan. Berkati juga kakak yang mempersiapkan skripsinya. Semoga semuanya berjalan lancar dan kakak segera mendapatkan pekerjaan sehingga dapat membantu ekonomi keluarga. Juga berkati mbak Dita, supaya kuliahnya lancar. Berkati juga mbak Antya yang masih UAS.”

Aku tercekat mendengar untaian doa sederhana Vento. Ah anak ini….. begitu halus hatinya. Ia mengerti kepedihan hati kami. Ia mampu menerjemahkannya serta mengubah jeritan ini menjadi lambungan doa yang begitu indah.

Selamat ulang tahun anakku….malaikat kecilku. Terimakasih selalu menjadi kebanggaan, tawa dan penghiburan bagi kami. Teruslah menjadi berkat dan terberkati anakku sayang….

Doa ayah, ibu dan kakak-kakakmu yang selalu membanggakanmu



Semarang 09 Des 2013

HUT ke 11 Malaikat kecilku
Zena Pio Meidi Advento (Penghiburan Meita dan Trisadhi yang lahir di masa Adven)


om/2014/03/03/malaikat-kecilku/">Malaikat Kecilku

0 komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Anda