Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Kamis, 02 Februari 2012

Papaku Selingkuh???

Kamis, 02 Februari 2012
Malam itu Bram sedang bercengkerama bersama Diaz, istrinya. Percakapan renyah di hari yang semakin dingin. Kebahagiaan terpancar dari wajah dan tutur canda mereka berdua. Tiba – tiba nada dering pesan di handphone nya berbunyi………

Wajah Bram berubah, pasi. Keringat dingin membasahi keningnya. Diaz melihat perubahan pada Bram dan bertanya,
“Ada apa, pa?”
“Bacalah!”, sahut Bram gemetar.
“Pa, aku tak mau punya papa, tukang selingkuh!”, demikian bunyi pesan singkat itu. Pesan singkat dari Ara, putri mereka yang kuliah di Surabaya. Pesan sangat singkat tapi cukup menohok ulu hatinya. Diaz tersenyum pada Bram, lalu ia mengusap bahu Bram lembut,
“Pasti ini salah paham. Telpon saja Kak Ara!”, saran Diaz pada Bram.

Tak sabar Bram mengambil handphonenya. Tut…..tut……. Telepon yang anda tuju sedang sibuk, terdengar suara di seberang. Bram mengulang sekali lagi….tut…tut….
“Halo,” terdengar suara Ara menyapa.
“Halo Kak, sapa Bram, ada apa? Kenapa menulis pesan begitu?” tanya Bram cepat.
“Mama dimana?” tanya Ara pada Bram penuh selidik.
“Ini di sebelah Papa,” jawab Bram. “Kakak, kenapa menulis begitu?” kata Bram mengulangi pertanyaannya.
“Gak tahu, dek Arta yg SMS aku!” sahut Ara ketus.
“Ini mama mau bicara,” kata Bram kehilangan kata-kata. Sedih hatinya mendengar keketusan Ara.
“Halo, Kak Ara…., ada apa sih menulis begitu ke papa? Sudah di cek and ricek, dianalisa dan dipelajari belum? Atau langsung bu hakim ketok palu, nih?” tanya Diaz sambil menggoda anak gadisnya.
“Gak tahu ma, itu dek Artha SMS aku. Tanya aja sama adek,” Ara menjawab dengan diplomatis.
“Kakak harus percaya sama papa, karena mama juga percaya sama papa.,” sahut Diaz.
“Ah, mama kan kerja. Jadi mama gak tahu. Tanya saja sama Adek,” ulang Ara.
“ Okay, sebentar mama tanya ya, nanti mama telpon lagi,” Diaz menutup pembicaraannya.

Bram terpekur diam. Hatinya gundah, bingung dan tak mengerti mengapa tiba-tiba anak-anaknya menuduh dia.

“Sebentar ya, pa, mama panggil dek Artha dulu,” suara Diaz mengagetkan Bram yang sedang melamun. Bram mengangguk cepat. Diaz menuju kamar Artha.
“Dek, yuk ke kamar papa, kita ngobrol,” ajak Diaz pada gadis kecilnya yang mulai mekar. Kecantikan Artha mulai berkilau. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang tulus selalu menyejukkan Diaz. Mereka berdua menuju kamar Bram dan Diaz.
“Duduk sini dek,” lambai Bram lesu.
“Ini kak Ara sms papa, ada apa sih sebenarnya?” terdengar suara Bram bergetar.

Artha menatap Diaz penuh ragu, seolah takut mamanya terluka. Tapi Artha heran melihat wajah mamanya yang tetap ceria bahkan penuh senyum. Senyum Diaz menguatkan Artha, dan ia yakin mamanya baik-baik saja.
“Aku lihat papa hari ini ke rumah Bu Asti,” Artha berkata dengan suara tercekat.
“Lho, adek kan tahu papa ada urusan untuk masalah sosial, kan?” sambar Bram cepat.
“Tapi, mbak Yem juga bilang, Bu Asti sering ke rumah bahkan tetangga depan juga curiga.”

Bram dan Diaz terdiam. Mereka saling melempar pandangan. Akhirnya Diaz memutuskan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Berat rasanya menceritakan hal yang sebenarnya pada Ara dan Artha karena hal ini menyangkut keutuhan rumah tangga Bu Asti. Diaz menghela nafas panjang sambil bergumam dalam hati. Tuhan, semoga aku bisa memberikan penjelasan yang baik pada anak-anakku. Lalu,
“Dek, Bu Asti itu beberapa waktu lalu sedang mengalami masalah besar. Ia akan diceraikan suaminya. Bu Asti membutuhkan pendampingan. Membutuhkan teman untuk bicara dan memberi nasehat yang jitu. Tidak semua orang bisa menjadi teman curhat yang baik. Tidak semua orang bisa memberi nasehat yang tepat. Dan tidak semua orang bisa cocok satu sama lain.”

Diaz berhenti sebentar memberi kesempatan Artha mencerna kalimat-kalimatnya. Kemudian lanjutnya,
“Papa, sudah minta ijin mama untuk mendampingi Bu Asti menghadapi masalah keluarganya. Dan mama setuju. Mama mendukung niat papa. Karena papa mempunyai tujuan yang lebih luas dan lebih luhur. Mama turut bahagia karena sekarang keluarga Bu Asti sudah kembali rukun.” Diaz berhenti lagi.

“Kalau papa berniat jelek, mau selingkuh, kenapa harus di rumah ini yang ada pembantunya? Jangan biasakan menerima cerita orang tanpa mencernanya. Apalagi tanpa mengcross check dengan yang bersangkutan. Jangan menghakimi dahulu, diuji kebenarannya dengan berbagai macam parameter,” Asti berhenti lagi sambil mengusap bahu Artha yang bergetar karena menahan tangis.
“Adek, Bu Asti itu disingkirkan keluarganya karena sesuatu hal, dan suaminya sudah mengusir dia dari rumah. Dia tak diberi uang. Padahal Bu Asti tidak bekerja. Mama memang yang menyuruh Papa untuk sekedar membelikan Bu Asti pulsa agar bisa berbagi keluh. Pernah ia tak makan seharian. Adek bisa bayangkan kalau pendampingannya tidak dilakukan dengan hati-hati atau oleh orang yang tepat, mungkin hari ini Bu Asti sudah berpisah dengan suaminya. Keluarganya berantakan, Iya kan? Mama sangat percaya pada Papa. Dan mama harap adek juga percaya bahkan bangga pada papa.”
“Coba pikir lagi, apakah ada sikap papa yang berubah selama ini?”, tanya Diaz pada Artha
Artha menggelengkan kepalanya, perlahan. Masih terasa sesengukan di nafasnya. Diaz terus mengusap rambut Artha dengan lembut. Dibelainya kepala Artha penuh kasih. Kasih seorang ibu yang memahami kegalauan anaknya.

Kemudian terdengar suara berat Bram,
“Adek, papa minta maaf, jika hal ini membuatmu sedih. Mungkin papa salah, karena kurang hati-hati sehingga membuat orang lain mempunyai penilaian kurang baik dan itu menyakiti hatimu. Tapi, papa menyakini bahwa apa yang papa lakukan benar dan demi kepentingan yang lebih mulia. Mama tahu semuanya, papa selalu cerita ke mama.”
“Benar, sayang. Mama tahu semuanya. Bahkan ketika papa memberikan peneguhan dan kekuatan dengan menepuk bahu Bu Asti, hal ini yang mungkin dilihat Mbak Yem. Tapi percayalah tak ada maksud yang lain kecuali menghibur. Coba diingat-ingat, kalau Adek sedang suntuk atau sedih, senang kan kalau dibelai atau diusap-usap? Jangan berpikir dari sudut pandang negative terus. Cari juga alasannya mengapa begitu. Kelak akan banyak persoalan hidup yang harus Adek putuskan dengan bijaksana. Pun seandainya pasangan kita melakukan kesalahan atau mengkhianati kita, tanyakan dulu kebenarannya, kemudian cross check dan uji kebenarannya. Baru setelah itu tanyakan alasannya. Mungkin juga kita turut andil dalam kekhilafan pasangan kita. Setelah itu jangan lupa beri peringatan juga kesempatan untuk memperbaiki diri. Mama yakin, itu jauh lebih baik daripada sekedar menuding kesalahan dan kemudian hancur.” Diaz menghentikan nasehat-nasehatnya.

Artha menghela nafas. Hatinya sudah tenang. Pikirannya terbuka dan kembali cerah. Memang papaku luar biasa, batinnya. Papa yang sabar, papa yang selalu menyiapkan sarapan buatnya, mengantarnya sekolah, dan selalu mempunyai waktu untuknya, ahhhhhh mengapa aku berpikiran buruk pada papa. Lalu,
“Maafkan Adek, pa!” kata Artha pada Bram.
“Ya, sayang. Papa juga minta maaf ya,” sahut Bram tercekat. Matanya terasa panas, ada bulir bening yang menggantung hendak jatuh…..Dipeluknya Artha erat.

Kemudian terdengar Diaz menyela kemesraan ayah dan anak itu.
“Yuk, segera telepon Kak Ara.”
Tut… Tut…..
“ Halo!”, terdengar suara Ara,
“Kakak, …..” Diaz menjelaskan duduk permasalahan dari awal hingga akhir.
Kemudian
“Papa, maafin kakak ya,” pinta Ara.
“Ya, sayang… papa juga minta maaf,” sahut Bram.

Malam semakin jelaga. Dingin pun menyelimuti dedaunan. Namun kehangatan di ruang tidur Bram dan Diaz memancar ke sekeliling rumah. Indahnya kasih…. Indahnya berbagi….. Indahnya saling mengerti….Indah …..seindah cinta Sang Pemilik Pagi……


Semarang, 27 Januari 2012
Pada suatu malam

0 komentar:

Posting Komentar