Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Cinta Itu Rapuh

Rabu, 09 Januari 2013

Siang itu aku mengikuti misa pernikahan putri seorang sahabat. Indahnya suara paduan suara membuai ingatanku untuk kembali pada puluhan tahun yang lalu.
 
Saat itu aku sering jengkel pada kekasihku yang sekarang menjadi pasanganku. Karena, setiap kali aku bertanya padanya, mengapa ia mencintai aku, ia selalu menjawab tak tahu. Kadang-kadang, aku ingin dipuja, lalu kutanya padanya, apakah kelebihanku yang membuat dirinya mencintaiku. Lagi-lagi jawabnya tidak tahu. Sungguh menjengkelkan rasanya. Memang, dia bukanlah orang yang romantis. Tapi, wajar kan sekali-kali aku ingin bermanja ?
 
Pernah suatu kali, ia pun bertanya padaku, mengapa aku memilih dia. Dengan cepat aku mengatakan : karena aku mengaguminya, kesabarannya, kedewasaannya, keceriannya dlsb yang indah-indah pokoknya. Tapi ia menanggapi kekagumanku dengan santai saja. Tidak ada rasa bangga.
 
Seringkali dalam kesaksianku, saat memperingati ulang tahun pernikahan kami, dengan sombong dan bangga aku mengatakan bahwa pasanganku adalah anugerah terindah dalam hidupku.
 
Namun dalam perjalanan waktu, ketika persoalan demi persoalan hidup menghampiri bahtera rumah tangga kami, mulai dari masalah ekonomi, pekerjaan, anak-anak dan masih banyak lagi, aku terhenyak! Pasangan hidupku mulai berubah sikap. Dia bukan lagi sosok yang dulu kukagumi. Kedewasaannya, kesabarannya seolah sirna digerus problema hidup yang klasik tapi nyata dan sulit terurai. Semua problem itu menumpuk karena selama ini kami menyerahkan penyelesaiannya pada sang waktu yang ternyata cuma  menggengam bom waktu. Menunggu saat meledak!  Aku kecewa dan mulai muak dengannya. Dengan sikapnya yang mulai kekanak-kanakan, tidak sabaran dan masih banyak lagi sederet kekurangannya yang menyebalkan… huffftttt!
 
Akhirnya, perang dingin yang berkepanjangan, sikap apatis, bertahan karena terikat pada janji perkawinan, itulah yang bisa kami lakukan dengan alasan yang sepertinya terdengar munafik : DEMI ANAK-ANAK!!!!! Ah….. Aku menghembuskan nafas dalam-dalam menahan perih mengingat semua itu.
 
Sampai akhirnya aku terpaku, ketika Imam memasuki sesi Homili.
 
“Cinta itu rapuh. Ia seperti pasir di laut yang mudah hilang disapu air. Cinta yang didasari pada kekaguman saat  pra nikah memang terlihat indah. Namun, rasa itu akan hilang lenyap dan berganti dengan kebencian. Tetapi sebaliknya, seseorang yang memilih pasangannya karena ia memutuskan untuk mencintai pasagannya apa adanya, akan bertahan hingga maut menjemput. Ia menerima kelemahan pasangannya dan mengundang campur tangan dan kekuatan Allah untuk berkarya dalam rumah tangganya,”  demikian sayup – sayup kudengar khotbah Imam sambil tetap terbenam dalam lamunanku.
 
Sebentar kulirik pasanganku. Terlihat matanya berkaca-kaca. Aku beringsut mendekatinya dan kemudian ia menggenggam tanganku.

“Ternyata aku tak salah selama ini,” begitu gumamnya.
“Aku seringkali merasa tertekan ketika engkau menanyakan mengapa aku memilihmu, karena aku tak punya alasan mengapa aku mencintaimu. Aku mencintaimu bukan karena kelebihanmu,  karena sebenarnya engkau jauh dari kriteria seorang idamanku. Tapi aku memilihmu untuk kucintai dengan segala kekuranganmu,” lanjutnya.
“Aku tahu, engkau kecewa padaku. Karena aku yang sekarang bukanlah aku yang engkau kagumi puluhan tahun yang lalu. Aku pun merasakan bahwa engkau tak lagi mencintaiku, justru disaat aku sangat membutuhkan cinta dan pendampinganmu,” begitulah katanya sambil terbata.
“Tapi  apa pun dirimu dan kesalahanmu, aku tetap mencintaimu…..,” demikian ujarnya menutup pembicaraan sambil menggenggam jemariku makin erat.

Perkawinan adalah hubungan kasih yang menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya. Cinta itu rapuh. Dan hanya dengan memohon kasih dariNya, cinta menjadi kuat dan menghidupkan, terdengar suara imam mengakhiri homilinya.

Lagu salam damai terdengar, kujabat erat tangan pasanganku, dan kubisikkan, “maafkan, aku sayang.” Terlihat ia mengangguk dan tersenyum.
 
Dalam hati aku bersyukur, dan sekali lagi aku dengan bangga berkata dalam hati : Terimakasih Tuhan. Dia memang sungguh anugerah terindah dalam hidupku.
 


Semarang, 3 Januari 2013
Minggu dalam lingkaran Oktaf Natal : Perayaan Pesta Keluarga Kudus dari Nasareth
(Keluarga Kudus bukanlah keluarga yang tanpa masalah tetapi keluarga yang mampu dan terampil mengolah masalah menjadi suatu anugerah)
 
 
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Anda