Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Selasa, 31 Desember 2013

Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan

Selasa, 31 Desember 2013
Kali ini saya ingin berbagi kisah tentang calon penerima Beasiswa Anak-anak Terang. Di artikel sebelumnya saya sudah bercerita tentang apa itu Beasiswa (bagi) Anak-Anak Terang. Banyak kisah-kisah pilu yang mungkin kita tidak tahu. Perjuangan seorang anak untuk memperbaiki masa depan keluarganya menjadi cermin bagi kita, betapa kita seringkali kurang bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Untuk itu melalui cuplikan kisah ini saya mengajak anda untuk berbagi. Kita wujudkan pernyataan Frans Seda: “Tidak boleh terjadi seseorang tidak melanjutkan pendidikan karena ia miskin” Dan akhirnya, mari kita wujudkan Indonesia yang makin cerdas. Selamat membaca! Jangan lupa siapkan tissue…..dan juga kunjungi : http://www.anakanakterang.web.id *** Seorang remaja lelaki, masuk kelas tempat aku mewanwancarai para calon penerima beasiswa. Wajahnya terlihat pucat pasi, kuyu dan lemas. Kulihat peluh bercucuran di wajahnya. Kusapa dia dan kupersilahkan duduk. Ia tertunduk. “Selamat pagi Mas, namamu Boy ya (nama disamarkan) ?” Boy mendongakkan wajahnya dan tersenyum “Selamat pagi Bu. Iya itu nama saya.” Jawabnya lirih. Kulihat wajahnya yang memutih. “Kamu kenapa Boy? Sakit?” Boy terdiam sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemudian dia tertunduk lagi. Aku mulai curiga dengan keadaannya, kemudian kupegang tangannya. Dingin sekali! Keringat mulai membasahi pelipisnya. Membuatnya terlihat makin tak berdaya menahan sesuatu. “Sudah biasa bu. Setiap pagi juga begini.” “Lho kok setiap pagi ? Memangnya kamu sakit” “Tidak bu.” Aku makin penasaran dibuatnya. Kubuka biodata Boy. Membacanya dengan cermat sambil sesekali kuamati wajahnya.Tiba-tiba …. BRUKKKKKKKKKKKKKK! !! Boy pingsan. *** Saat Boy pingsan aku mencari informasi tentang dia kepada gurunya. Dan ternyata, Boy adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara yang tinggal di sebuah desa di Karangjati – Ungaran, Kabupaten Semarang. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Kimia Industri. Boy berjalan kaki dari rumah menuju jalan raya kira-kira 3 km. Setelah itu, ia mencari tumpangan truk yang menuju ke arah Semarang. Hanya itulah satu-satunya alternatif yang dipilihnya agar dia tidak terlambat, juga agar dia tidak seperti kedua kakaknya yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Hingga kemiskinan terus saja membelenggu mereka. Kira-kira satu jam kemudian remaja lelaki itu kembali masuk ke ruangan, duduk di hadapanku dan berkata, “Maaf bu, tadi tiba-tiba kepala saya terasa berputar.” “Kamu sudah sarapan?” Boy menggelengkan kepalanya lemah. “Terus, biasanya kamu sarapan dan makan siang di sekolah?” selidikku. Dia terdiam, cukup lama. Kemudian berkata, “Maaf Ibu, saya malu. Saya tidak pernah sarapan dan makan siang. Saya berangkat dari rumah jam 5 pagi. Jam segitu mamak belum menyiapkan sarapan. Dan kami belum pernah menikmati sarapan sejak kami kecil. Orang tua saya tidak mampu untuk memberi uang saku pada saya. Paling banyak Rp 1.000,- untuk naik bus, .kalau tidak ada truk yang bisa saya tumpangi. Kalau naik truk saya bisa gratis menuju rumah.” Sebentar Boy terdiam. Lalu ia melanjutkan ceritanya. “Jangankan memberi uang saku, Bu, untuk sekolah pun mamak sudah melarang saya, karena mamak tidak punya uang untuk membayar SPP.” Aku tertegun mendengar penjelasannya. Dari bio data yang kubaca, Boy, sudah menunggak uang sekolah dari mulai dia masuk hingga saat aku wawancarai. Lalu Boy melanjutkan ceritanya dengan suara yang lemah menahan lapar. “Saya akan nekad ikut sekolah meskipun saya harus main petak umpet bila melihat ada yang mau nagih SPP. Saya ingin hidup mapan meski saya dari keluarga yang morat-marit, Bu.” Sebentar, aku pura-pura izin ke kamar kecil. Aku menangis sesenggukan. Melepas sesak di dada. Betapa teguhnya nyali anak ini memperbaiki nasibnya. Ia tak ingin bodoh! Wawancara usai. Aku dan beberapa guru mengantar Boy ke rumahnya. Rupanya rumahnya memang sangat jauh dari sekolah. Aku makin kagum dengan semangat Boy. Ahhhh….Tak terasa airmata ini kembali menetes. Dalam hati aku bersyukur boleh meluluskan permohonan Boy menerima beasiswa Anak-Anak Terang. Dan Aku pun bergumam: Ya, nak. Wujudkan impianmu! Perbaiki nasibmu, perbaiki masa depanmu, kamu berhak untuk itu! Seperti diceritakan oleh Elisabeth Lies Endjang Soerjawati – Bendahara Yayasan AAT Indonesia Read more: http://baltyra.com/2013/12/25/perjuangan-anak-bangsa-mengenyam-pendidikan/#ixzz2p2STs9WP

0 komentar:

Posting Komentar