Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Selasa, 31 Desember 2013

Baltyra - Tanda Damai dan Persaudaraam

Selasa, 31 Desember 2013
0 komentar
Tak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2013. Begitu banyak prestasi diraih oleh para kontributor yang membuat siapapun yang berada di rumah ini ikut bangga. Juga beraneka peristiwa dan pengalaman tersaji setiap harinya, begitu renyah dan kemriuk untuk dinikmati. Para penghuni yang berasal dari berbagai latar belakang serasa saling memiliki ketika berbagi di rumah tak berdinding ini. Para kontributor tak segan membagikan ilmu serta pengalaman dan apa pun yang mereka miliki untuk sekedar menjalin kebersamaan dan persaudaraan bahkan kekeluargaan. Hal ini mengingatkan saya pada homili seorang pastor di misa Malam Natal yang baru lalu. Dalam khotbahnya Pastor mengatakan bahwa Natal harus menjadi tanda damai, persaudaraan dan sarana pewartaan kebaikan Tuhan pada umat manusia. Ketika mendengar itu angan saya langsung melayang pada saudara-saudara di Baltyra. Ya! Baltyra adalah tanda damai serta persaudaraan itu. Ini terbukti dari dinamika Group Baltyra, baik yang negatif dan lebih banyak yang positif. Tentu hal tersebut sesuai dengan ciri Baltyra yang: Kosmopolitisme di mana berbagai identitas dan sentimen sebagai warga negara dunia berbaur, tanpa berbenturan satu dengan lainnya. Berwawasan Nusantara, yang artinya bahwa warga Baltyra lahir dari beragam ide dan latar belakang dari berbagai penjuru dunia. Namun, justru banyaknya elemen yang berbeda tersebut menjadi kekuatan untuk memajukan dunia. Tak salah kiranya, jika saya mengatakan Baltyra memang bukan rumah kedua saya, tetapi Baltyra adalah rumah persinggahan saya. Saya bebas singgah, saya bebas beristirahat, melepas penat, sekedar bercanda, tertawa, bahkan meneteskan airmata haru membaca pengalaman-pengalaman hidup yang tersaji di rumah singgah ini. Terimakasih Baltyra, telah memperkaya hidup saya. Akhirnya, selamat Tahun Baru. Semoga di tahun yang baru kita semua semakin menjadi manusia-manusia tangguh yang tak mudah patah, tak mudah tercerai berai. Semoga anda semua selalu sehat, sejahtera dan bahagia, dikarunia rahmat untuk menghadapi setiap tantangan dengan senyum ceria….. Semarang – penghujung tahun 2013 Read more: http://baltyra.com/2013/12/31/baltyra-tanda-damai-dan-persaudaraan-selamat-tahun-baru-2014/#ixzz2p2Uzd800

read more

Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan

0 komentar
Kali ini saya ingin berbagi kisah tentang calon penerima Beasiswa Anak-anak Terang. Di artikel sebelumnya saya sudah bercerita tentang apa itu Beasiswa (bagi) Anak-Anak Terang. Banyak kisah-kisah pilu yang mungkin kita tidak tahu. Perjuangan seorang anak untuk memperbaiki masa depan keluarganya menjadi cermin bagi kita, betapa kita seringkali kurang bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Untuk itu melalui cuplikan kisah ini saya mengajak anda untuk berbagi. Kita wujudkan pernyataan Frans Seda: “Tidak boleh terjadi seseorang tidak melanjutkan pendidikan karena ia miskin” Dan akhirnya, mari kita wujudkan Indonesia yang makin cerdas. Selamat membaca! Jangan lupa siapkan tissue…..dan juga kunjungi : http://www.anakanakterang.web.id *** Seorang remaja lelaki, masuk kelas tempat aku mewanwancarai para calon penerima beasiswa. Wajahnya terlihat pucat pasi, kuyu dan lemas. Kulihat peluh bercucuran di wajahnya. Kusapa dia dan kupersilahkan duduk. Ia tertunduk. “Selamat pagi Mas, namamu Boy ya (nama disamarkan) ?” Boy mendongakkan wajahnya dan tersenyum “Selamat pagi Bu. Iya itu nama saya.” Jawabnya lirih. Kulihat wajahnya yang memutih. “Kamu kenapa Boy? Sakit?” Boy terdiam sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemudian dia tertunduk lagi. Aku mulai curiga dengan keadaannya, kemudian kupegang tangannya. Dingin sekali! Keringat mulai membasahi pelipisnya. Membuatnya terlihat makin tak berdaya menahan sesuatu. “Sudah biasa bu. Setiap pagi juga begini.” “Lho kok setiap pagi ? Memangnya kamu sakit” “Tidak bu.” Aku makin penasaran dibuatnya. Kubuka biodata Boy. Membacanya dengan cermat sambil sesekali kuamati wajahnya.Tiba-tiba …. BRUKKKKKKKKKKKKKK! !! Boy pingsan. *** Saat Boy pingsan aku mencari informasi tentang dia kepada gurunya. Dan ternyata, Boy adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara yang tinggal di sebuah desa di Karangjati – Ungaran, Kabupaten Semarang. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Kimia Industri. Boy berjalan kaki dari rumah menuju jalan raya kira-kira 3 km. Setelah itu, ia mencari tumpangan truk yang menuju ke arah Semarang. Hanya itulah satu-satunya alternatif yang dipilihnya agar dia tidak terlambat, juga agar dia tidak seperti kedua kakaknya yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Hingga kemiskinan terus saja membelenggu mereka. Kira-kira satu jam kemudian remaja lelaki itu kembali masuk ke ruangan, duduk di hadapanku dan berkata, “Maaf bu, tadi tiba-tiba kepala saya terasa berputar.” “Kamu sudah sarapan?” Boy menggelengkan kepalanya lemah. “Terus, biasanya kamu sarapan dan makan siang di sekolah?” selidikku. Dia terdiam, cukup lama. Kemudian berkata, “Maaf Ibu, saya malu. Saya tidak pernah sarapan dan makan siang. Saya berangkat dari rumah jam 5 pagi. Jam segitu mamak belum menyiapkan sarapan. Dan kami belum pernah menikmati sarapan sejak kami kecil. Orang tua saya tidak mampu untuk memberi uang saku pada saya. Paling banyak Rp 1.000,- untuk naik bus, .kalau tidak ada truk yang bisa saya tumpangi. Kalau naik truk saya bisa gratis menuju rumah.” Sebentar Boy terdiam. Lalu ia melanjutkan ceritanya. “Jangankan memberi uang saku, Bu, untuk sekolah pun mamak sudah melarang saya, karena mamak tidak punya uang untuk membayar SPP.” Aku tertegun mendengar penjelasannya. Dari bio data yang kubaca, Boy, sudah menunggak uang sekolah dari mulai dia masuk hingga saat aku wawancarai. Lalu Boy melanjutkan ceritanya dengan suara yang lemah menahan lapar. “Saya akan nekad ikut sekolah meskipun saya harus main petak umpet bila melihat ada yang mau nagih SPP. Saya ingin hidup mapan meski saya dari keluarga yang morat-marit, Bu.” Sebentar, aku pura-pura izin ke kamar kecil. Aku menangis sesenggukan. Melepas sesak di dada. Betapa teguhnya nyali anak ini memperbaiki nasibnya. Ia tak ingin bodoh! Wawancara usai. Aku dan beberapa guru mengantar Boy ke rumahnya. Rupanya rumahnya memang sangat jauh dari sekolah. Aku makin kagum dengan semangat Boy. Ahhhh….Tak terasa airmata ini kembali menetes. Dalam hati aku bersyukur boleh meluluskan permohonan Boy menerima beasiswa Anak-Anak Terang. Dan Aku pun bergumam: Ya, nak. Wujudkan impianmu! Perbaiki nasibmu, perbaiki masa depanmu, kamu berhak untuk itu! Seperti diceritakan oleh Elisabeth Lies Endjang Soerjawati – Bendahara Yayasan AAT Indonesia Read more: http://baltyra.com/2013/12/25/perjuangan-anak-bangsa-mengenyam-pendidikan/#ixzz2p2STs9WP

read more

Sacred Anger

0 komentar
Sejujurnya saya baru tahu istilah ini saat saya posting di FB Baltyra, sebuah surat terbuka Laire Siwi Mentari, putri Sitok Srengenge tentang dukungannnya pada sang ayah yang tengah dihujat karena pelecehan seksual terhadap beberapa wanita, salah satunya dikabarkan hamil dan tengah mengalami depresi berat. Surat tersebut bisa di baca di http://lairesiwi.wordpress.com/2013/11/30/surat-terbuka/ Saya tak mau turut campur permasalahan keluarga Sitok Srengenge. Tapi saya kagum pada Laire yang memiliki pengendalian emosi juga keluasan hati yang luar biasa. Sungguh tak mudah mendampingi orang yang sudah dihujat public, terlebih penghujatan itu adalah pengkhianatan orang yang kita cintai terhadap diri kita. Lalu, seorang teman menanggapi postingan saya dan mempertanyakan dimana keluarbiasaannya. Ia membandingkan dengan counter surat terbuka untuk Laire, seperti yang bisa anda baca disini : http://www.gurudanpenulis.com/8surat-terbuka-untuk-laire-siwi-laire-sayang-kamu-tahu-lsquosacred-angerrsquo-nggarsquo.html Counter surat ini lebih mencenggangkan saya. Ungkapan dan gaya tuturnya begitu jujur dan manusiawi. Dalam surat itu Meicky, sang penulis menyebut tentang “SACRED ANGER”, suatu kemarahan yang muncul karena adanya ketidak beresan. Istilah itu menggelitik saya untuk mencari tahu makna yang sebenarnya dari sacred anger. Cukup sulit menemukan, dan akhirnya saya dapatkan definisinya dari Ariel Ky, seorang guru bahasa Inggris yang mendefinisikan Sacred Anger sbb: “Sacred anger wells from the deepest places in our souls that cry out against that’s really wrong in our world : discrimination,separation, division, judgment, oppression, exploitation.” Dalam surat terbuka Meicky untuk Laire, ia meminta Laire menujukkan bahwa ia terluka atas tingkah laku ayahnya, tetapi juga akan tetap mendampingi bukan menutup-nutupi atau membela kesalahan sang ayah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ariel Ky: “Still, there is a place when our anger is sacred, it is so right and it is so necessary for our very survival to express that anger, that rage, that outrage against very real injustice and living conditions and relationships that aren’t right, that don’t support or sustain us.” Surat Meicky saya baca berkali-kali. Saya tercenung. Sebagai orang Jawa saya diajari tidak mengumbar amarah secara blak-blakan, terlebih pada orang tua. Tidak sopan! Tetapi surat Meicky membuka mata saya bahwa marah itu perlu, tapi respek itu tetap mutlak. Menyimpan kemarahan, menutupinya seolah semua baik-baik saja tidak menyelesaikan masalah. Terlebih tidak memberikan efek jera pada pelakunya. Meicky benar. Yesus saja marah karena Bait Allah dipakai untuk berjualan. Nabi Muhammad marah kepada Ibn Al-Lutbiyyah seorang pemungut pajak yang merima suap. Dan yang sekarang sedang menjadi primadona : Jokowi-Ahok marah melihat keridak beresan di jajaran pemerintahannya. Marah yang proporsional itu sehat, menurut Ariel Ky. “Sacred anger is a healthy expression of our deepest discontent. Sacred anger moves mountains, it moves women out of marriages that have become untenable, it moves people out on the streets to overthrow dictators.“ Ah, ternyata marah juga punya daya konstruktif jika diungkapkan dengan cara yang tepat. Hmmmm….I know now anger can be beautiful. Semarang 06 Desember 2013 Mempertanyakan pada diri sendiri keuntungan menyimpan rapat kemarahan-kemarahan di hati Read more: http://baltyra.com/2013/12/10/sacred-anger/#ixzz2p2QluGZR

read more