Each new day is miracle in progress. Demikianlah sebuah pepatah yang
selalu kuingat saat Bapak harus bertarung melawan kanker. Diajarnya aku
untuk selalu bersyukur dengan cara mencari 1 saja kebaikan Allah di
sepanjang hari itu, dan di penghujung hari sebelum mata ini mengajak
tubuh beristirahat, untuk akhirnya mengucapkan terimakasih atas segala
kebaikanNya.
Kiranya pepatah tersebut pas sekali untuk renungan kali ini.
Sebuah kisah sederhana dari seorang office girl di tempatku bekerja,
sungguh membuatku tak mampu berkata-kata dan hanya mampu bersyukur
serta berucap : Sungguh besar Allahku, melebihi segala perkara dan
persoalan yang tak dapat aku tanggung.
Mbak Yati, adalah nama office girl di tempatku bekerja. Orangnya
ramah, ceria dan lucu. Suaminya bekerja di kantor yang sama sebagai
buruh. Ia dikarunia 3 orang anak laki – laki yang semuanya masih
bersekolah. Hari – hari belakangan ini kisah hidupnya dipenuhi dengan
cerita pilu. Dari ibunya yang sakit keras, dan harus dirawat di rumah
sakit, hingga akhirnya meninggal dan menyisakan setumpuk hutang sampai
ia harus menjual rumahnya dan mengontrak. Sehari – hari untuk menambah
penghasilannya Mbak Yati juga berjualan jajanan untuk orang – orang
kantor.
Suatu hari, ia pingsan. Mungkin karena kelelahan dan beban pikiran
hutang, kebutuhan hidup sehari – hari dan sekolah anak – anaknya. Sampai
yang seharusnya ia rawat inap, tetapi karena bingung dengan biaya, ia
menolak untuk dirawat. Kegigihannya berdamai dengan segala kesusahan
serta mengabaikan rasa sakit sungguh membuatku kagum.
Selang satu minggu setelah sakit, ternyata kesusahan belum juga mau
berbaik hati dengannya. Sore itu seorang anaknya ingin jajan bakso,
entah apa sebabnya ia justru membuat kesalahan yang membuat gerobak
tukang bakso tersebut rusak, dan akhirnya Mbak Yati harus mengganti
rugi. Ada – ada saja kejadian yang menimpanya. Namun tetap saja Mbak
Yati mampu menceritakan kesedihannya dengan tawa yang juga disertai air
mata.
2 hari yang lalu, seperti biasa sebelum masuk ke ruang kerja ,aku
mampir ke dapurnya untuk membeli makanan kecil jualannya. Kulihat tangan
Mbak Yati bengkak. Saat kutanya, ia bercerita bahwa semalam, setelah
sholat, ia merasa pusing dan terjatuh. Jarinya terplintir. Duhhhh Mbak
Yati…
Siang tadi saat makan siang, Mbak Yati bercerita,
“Bu Meita, wah bener lho bu. Alloh itu baik. Kemarin,
pulang kantor, jualan nasiku kan masih tiga bungkus. Bayangkan bu. Lha
kok aku di jalan ketemu orang bawa gerobak sampah. Dibelakangnya anaknya
merengek,
“Pak ngelih (Lapar). Maem Pak.”
“Aku kan gak tega ya bu, aku kasih saja nasi bungkus tadi ke Bapak
itu. Padahal aku juga gak punya lauk di rumah. Dan keuntunganku hari itu
cuma lima belas ribu. Pikirku nanti nasi itu mau aku makan. Tapi lihat
anak tadi aku kasihan. Lihat mereka seneng aku jadi seneng banget bu.“
“Di jalan, aku berhenti sebentar bu, rasanya tanganku masih sakit.
Mau naik becak mahal padahal badan ini rasanya sudah enggak kuat. Eh lah
kok malah ketemu tetangga, nawarin tumpangan. Adhuh maturnuwun Gusti.”
“ Terus to Bu Meita, sampai di rumah anakku minta bakso. Tadi uangku
yang lima belas ribu aku kasih empat ribu buat beli bakso. Tinggal
sebelas ribu. Aku mau masak lha kok gas ku habis. Wah aku bingung bu,
makan apa malam ini.”
“Tiba-tiba saja kok ada orang ketuk rumah, mengantar makanan. Lalu
aku tanya dari siapa. Kata orang yang mengantar itu, dari Pak Mursid.
Aku bingung bu, wong aku ndak kenal. Tapi orang yang mengirim makanan
itu memaksa menerima bancakan itu. Ya sudah dalam hati aku bersyukur,
dan bilang : Ini rejeki. Waktu aku buka bu, isinya woalah kayak memberi
Lurah, saja. Lengkap dan banyak banget bu. Ada pisang sesisir, ada
jajanan, ada ayam utuh. Wah luar biasa.”
“Setelah orangnya pulang, aku kejar anakku yang sedang menunggu
bakso. Nang … Nang, ora usah tumbas bakso. (Nang= panggilan untuk anak
laki-laki., gak usah beli bakso). Itu ada kiriman makanan banyak.
Uangnya buat beli gas saja ya. Dengan terpaksa anakku pulang sambil
cemberut. Tapi setelah lihat isi dus, dia semangat. Terus bilang, wah
ibu dapat darimana kok makanannya enak-enak.”
“Terus, tadi pagi, aku belanja di tetangga rt sebelah. Ternyata
namanya Mbak Yati. Dia seorang mandor pabrik. Selama ini aku panggilnya
nama suaminya. Dia bercerita, bahwa kemarin nunggu – nunggu bancakan
dari temannya. Lha aku kan jadi deg-degan. Aku nunggu sepi, terus aku
bilang, bu kemarin saya terima bancakan. Lha saya tidak tahu ibu namanya
sama dengan saya. Sebetulnya saya juga sudah tidak mau terima, tapi
yang mengirim memaksa bu. Ya sudah saya terima. Maaf ya bu.”
“Bu Meita, untung, orangnya enggak marah. Malah bilang, nggak apa – apa Mbak Yati, itu rejekinya Mbak Yati. “
“Wah legaaaaaaaaaaaaaa sekali, Bu Meita. Tuhan sudah mengatur rejeki buat saya walau rejeki salah alamat.”
…………………………………………………………………………………………
Sedikit pun aku tak mampu berkata- kata mendengar cerita Mbak Yati.
Bulu kudukku sampai meremang, mataku pun berkaca-kaca. Aku hanya mampu
berucap dalam hati, Ya Tuhan, Engkau mampu membelokkan rejeki buat orang
yang sudah mau berbagi dalam kekurangannya. Sungguh ajaib Tuhanku……..
Semarang, akhir Mei 2012...
Bulan penuh rahmat untuk belajar