Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Kamis, 28 Agustus 2014

Tolong

Kamis, 28 Agustus 2014
0 komentar
Sebenarnya, aku tak ingin percaya bahwa aku mendapat karunia melihat hal-hal yang tak kelihatan, pun pesan-pesan kecil tentang sesuatu yang akan terjadi.

Banyak kejadian aneh yang tak masuk akal yang beritanya disampaikan lewat mimpi, dibisikkan atau kadang lewat di mata seperti barisan kalimat yang muncul di berita-berita televisi.

Aku tak mau terjebak menjadi seorang peramal yang menjadikan aku orang aneh dan sok tahu.

Tapi, kejadian hari ini membuatku tak berdaya

Aku bekerja di sebuah perusahaan asing yang mempekerjakan ratusan buruh. Berada di lingkungan yang multi problem ini seringkali membuatku mati langkah. Maju salah berdiam diri tidak sampai hati.

Adalah seorang yang bernama Ali, dia tipe orang yang tidak bisa diam melihat suatu ketidak beresan. Ali seringkali datang ke ruanganku mengadukan sistem yang tidak berjalan baik diperusahaan.

Sayang sekali, Ali tidak berumur panjang. Ia meninggal karena suatu kecelakaan. Anehnya, kira-kira sebulan sebelum meninggal, aku berpapasan dengan Ali dalam wajah yang bercahaya putih dan keemasan. Tapi saat itu justru aku berpikiran apakah orang ini memakai susuk untuk menarik perhatian orang. Huffffttt jahat sekali pikiranku !

Aku baru tahu bahwa hal demikian sebetulnya adalah pertanda untuk orang-orang yang akan meninggal. Ini kutahu setelah aku bercerita pada teman tentang penglihatanku itu.



Hari ini sekali lagi aku dibuat merinding oleh Ali.



Ruangan kerjaku berada di lantai 2. Kemarin ketika hendak ke kamar mandi yang terletak di lantai 1, aku melihat pocong di dapur. Aku sempat kembali ke ruanganku dan bercerita pada teman-teman. Aku bertanya ada apa gerangan siang bolong aku melihat pocong di dapur.



Read more: http://baltyra.com/2014/07/18/tolong/#ixzz3BfI2O0LR

read more

Merapi – Ada Sesuatu Yang Tertinggal

0 komentar
12 – 13 April 2014, aku mengikuti acara rekoleksi (temu) Pengurus, Donatur, Pendamping dan Relawan Anak-Anak Terang di Kaliurang, Jogjakarta. Berangkat dari Semarang pukul 07.45 bersama sekitar 37 relawan dan 2 pengurus Semarang, karena yang lain sudah berangkat malam sebelumnya. Kami tiba di Kaliurang dan berhenti di tempat wisata Tlogo Putri sekitar pukul 10.00.



Tlogo Putri merupakan salah satu tempat wisata di Jogjakarta yang memadukan wisata air dan pegunungan. Letaknya di desa Harjo Binangun. Tetapi aku yang masih mabuk, tidak tertarik untuk menikmati wisata ini. Aku memilih beristirahat dan minum wedang ronde dan makan jagung bakar serta jadah tempe bacem, makanan khas daerah tersebut.


Setelah meneguk sendok demi sendok wedang ronde dan menikmati jagung bakar dan jadah tempe bacem, rombongan panitia yang telah tiba malam sebelumnya datang. Mereka mengajakku untuk lava tour dan off road. Aku langsung setuju, sekaligus menjajal jiwa petualanganku.

Sayang sekali, walau banyak mengambil foto narsisku, foto-foto tersebut belum sempat dibagikan padaku. Sehingga foto-foto ini sebagian kuambil dari mbah Google.

Menelusuri sepanjang jalan yang ekstrim, Mas Dandung, sang pemilik Jeep banyak bercerita daerah-daerah yang habis tersapu awan panas atau lebih dikenal dengan Wedhus Gembel.

Mengapa disebut Wedhus Gembel, karena bentuknya seperti bulu-bulu Wedhus (domba) yang gembel. Konon, suhu saat Merapi memuntahkan awan panas mencapai 1100 derajat celcius. Dan dengan kecepatan 200 km/jam, saat sampai di pemukiman penduduk suhunya sudah turun, tapi masih saja tinggi yaitu mencapai 500 derajat celcius. Dengan suhu yang sangat tinggi tersebut bahkan gelas kaca pun meleleh.

Tibalah kami di Museum Sisa Hartaku. Museum ini terletak di Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Museum ini merupakan salah satu dari beberapa bangunan yang masih cukup
text-align: center;">
dibanding bangunan-bangunan lainnya yang telah luluh lantak terbakar awan panas. Kami tidak perlu membayar tiket masuk. Cukup mengisi kotak donasi sukarela yang ada di depan museum tersebut yang dananya digunakan untuk perawatan. Sungguh terasa benar suasana desa yang jauh dari bau materilistis industri.



Beberapa foto benda-benda yang terdapat di museum.

Tiba-tiba setelah napak tilas sisa bencana tersebut, kepedihan menyergapku. Terbayang ketika pemilik rumah mengumpulkan satu persatu hartanya. Melihat ternak yang mati dan tinggal tulang belulang. Tak terbayang kesedihan itu. Aku memutuskan berdoa sejenak.

Meski di dusun tersebut tidak ada korban karena telah dievakuasi sebelumnya, tetap saja tak bisa menghapus duka dari jejak rekam harta yang tertinggal.

Puas menikmati museum, kami menuju ke bunker, sisa bencana Merapi 2006 yang mengakibatkan 2 orang meninggal. Aku merasa beruntung boleh melihat dan merasakan suasana di bunker. Aku bisikkan doa di dinding gelap bunker agar yang meninggal mendapat ketenangan jiwa di alam abadi.


Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Saatnya kembali ke Kaliurang untuk mengikuti rekoleksi. Aku senang mendapat kesempatan menikmati perjalanan ini.

Dan seperti kata pepatah, selalu ada berkat di balik bencana. Sepanjang daerah tersebut terlihat berpuluh-puluh truk yang mondar-mandir mengangkut pasir. Sempat aku bertanya, apakah bisnis alam seperti itu tidak rawan penyelewengan. Tetapi, pak Dandung dengan sigap menjawab, “tidak bu, di sini daerah bencana, kami diawasi banyak LSM dan lembaga yang turut mengaudit. Jadi semuanya transparan, untuk kesejahteraan bersama.”

Ada yang tertinggal di Merapi. Kepedihan yang menyayat hati. Tetapi aku bersyukur, karena di sini, diwajah masyarakat sekitar, tak tergambar lagi kepedihan itu. Begitulah orang-orang desa yang sederhana. Mereka selalu bersyukur, menganggap bahwa bencana adalah kehendak yang Kuasa. Tidak ada tuntutan berlebihan dan hujatan khas manusia-manusia serakah.

Seperti tertulis di sebuah dinding museum, bukti kekraban mereka pada alam:


MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI.

Semarang 17 April 2014



Read more: http://baltyra.com/2014/06/10/merapi-ada-sesuatu-yang-tertinggal-museum-sisa-hartaku/#ixzz3BfGl6WH5

read more

Sejatera

0 komentar
Baru saja kita memperingati hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Dan pada tahun 2014 untuk yang pertama kalinya di Indonesia, hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur.

Saya heran, mengapa tahun ini Hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur nasional. Keheranan itu saya tuangkan sebagai status di socmed dan mendapat beberapa tanggapan. Ada yang mengatakan: “Karena gak boleh demo. Kalau libur kan gak boleh demo.”

Terus terang, saya tidak tahu kalau hari libur tidak diijinkan demo. Hingga saya ber-SMS dengan seorang teman yang mengirimkan pesan : SELAMAT LIBUR, selamat hari buruh. Lalu saya membalas SMS tersebut: “Lha aku heran, kenapa hari buruh saja diliburkan. Apa pemerintah merasa belum bisa mensejaterakan rakyatnya, lalu disuruh demo gitu.”

Hahahahaha… pemikiran yg sederhana ya?

Tetapi jawaban teman saya ini yang membuat saya terbengong.

“Tidak akan pernah sejahtera, kalau ukuran sejahtera itu adalah materi.”

Ya teman saya benar. Kita tak akan pernah merasa sejahtera jika ukurannya adalah materi.

Berdasarkan hasil survey KHL (Kebutuhan Hidup Layak), pendapatan merupakan parameter seorang dapat hidup sejahtera. Tentu saja parameter kota satu berbeda dengan kota lainnya.

Memang setiap tahun KHL ini ditinjau untuk meningkatkan pendapatan rakyat. Tetapi bersamaan dengan diumumkannya kenaikan gaji, otomatis semua harga kebutuhan dari yang pokok sampai yang tidak pokok ikut naik.

Kesimpulannya penghasilan rakyat tidak pernah meningkat, karena pengeluaran juga meningkat lebih tinggi dari pendapatannya.

Belum lagi perilaku konsumtif yang terus dihipnotiskan ke alam bawah sadar oleh para konglomerat lewat iklan di berbagai media.

Sepertinya kita harus mengubah mind set kita tentang pengertian “SEJAHTERA”. Sejahtera harus dimaknai a.l :

Ketersediaan 9 dasar bahan pokok, secara mudah, murah dan berkelanjutan. Mengubah perilaku konsumtif, menjadi perilaku terampil mengolah barang-barang bekas, atau tanaman, atau apapun yang tersedia di sekeliling kita untuk digunakan kembali. Hal ini bukan saja berguna menekan konsumerisme, tapi juga kelestarian lingkungan. Istilah kerennya adalah mengelola kearifan lokal.
Hidup dan berperilaku sehat. Mulai menyiapkan diri dengan asuransi kesehatan terpercaya sedini mungkin.

Bukan hanya mengubah mindset, tetapi kita juga harus mempersiapkan beberapa hal menghadapi masa tua agar tetap hidup sejahtera.

Mempersiapkan diri menjadi MANULA mandiri, dengan bekal usaha pribadi : toko kelontong, ternak, berkebun, konveksi dan apa saja sesuai kemampuan dan ketertarikan. Bergabung atau membuat komunitas dengan interest yang sama agar bisa bertukar pengetahuan, relasi, yang akhirnya akan membentuk jaringan ekonomi mandiri.

Dan masih banyak lagi hal yang bisa dikembangkan untuk memiliki konsep SEJAHTERA yang tidak berorientasi pada materi semata.

Tentu saja hal tersebut diatas tidak mudah dilakukan. Tapi saya akan berusaha memulai dari diri saya sendiri. Walaupun ada beberapa poin diatas, yang sudah terlambat untuk saya. Tapi tak apa, saya mau SEJAHTERA.


#Special thanks to : Ary Hana
Salam sejahtera!


Semarang, 02 Mei 2014



Read more: http://baltyra.com/2014/05/19/sejahtera/#ixzz3BfCUKNIY


read more

[Perjuangan Anak Bangsa Mengenyam Pendidikan] Impian yang Tertunda

0 komentar
Seorang laki-laki muda duduk di hadapanku. Tatapan matanya yang sipit namun tajam memancarkan kecerdasannya. Wajahnya yang tirus dan bibirnya yang tersenyum tipis menandakan sosok ini seorang yang lebih banyak berpikir dan bekerja daripada bicara. Lengannya kurus tapi kuat. Ya, aku tahu dia adalah seorang pekerja keras.

Kutatap wajahnya dalam-dalam, sambil sesekali menelusuri coretan tentang diri dan keluarganya. Mulai dari ayah yang pergi meninggalkannya, lalu ibu yang menikah lagi dengan seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab. Dari pernikahan itu ia memiliki 2 adik tiri yang cerdas. Bahkan salah satunya pemenang suatu olimpiade mata pelajaran eksak.

Sayang sekali, kepahitan demi kepahitan belum beranjak dari hidupnya. Ayah tiri yang hanya pulang dan meninggalkan hutang dan kadang sumpah serapah, hingga akhirnya ia dan keluarganya harus keluar dari rumah yang dipinjami kerabat.

Dengan pendapatan yang tak menentu, sebagai seorang buruh sebuah pabrik es krim, sang ibu mendapat upah +/-Rp.600.000/bulan, itupun jika tak berhalangan, mereka harus mencukupkan untuk makan 4 orang anggota keluarga, pendidikannya, juga ke-2 adiknya, transport dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Mustahil! Ya pasti, maka sebagai anak laki-laki tertua, ia tak berpangku tangan. Ia membantu sang ibu dengan berjualan hasil tanaman yang ditanam di lahan kosong seorang kerabat. Hasil kebun tersebut ia jual ke pasar.

Sesekali aku menghela nafas, mendengar cerita dan ketegarannya. Yah, seharusnya memang demikian. Laki-lakiharus kuat. Sepahit apa pun hidup, ia diharamkan menangis. Walau sesungguhnya aku tak setuju dengan hal ini.

Sudah beberapa hari belakangan, aku mewawancarai calon penerima beasiswa Perguruan Tinggi – Anak-Anak Terang. Banyak kisah nyata yang tak kupercayai benar terjadi tapi dikisahkan secara langsung oleh pelakunya di hadapanku. Ya! DI HADAPANKU!

Hal ini membuatku cukup pusing karena, begitu banyak yang harus dibantu, sedangkan kemampuan dari komunitas kami yang baru saja menjadi sebuah yayasan ini, belum sanggup membiayai begitu banyak mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikannya. Memperbaiki nasibnya. Kami harus benar-benar selektif.

Wawancara hampir usai, sampai aku berhenti pada kalimat akhir dari esai yang dibuatnya.

“Sebenarnya, aku bercita-cita menjadi seorang dokter. Aku ingin membangun sebuah rumah sakit gratis bagi mereka yang tidak mampu. Tetapi apa daya. Mungkin belum rejekiku. Aku jalani saja takdirku, walau saat ini bersekolah di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer di Purwokerto dengan IP ku saat ini 3,83. Tapi Keinginanku untuk menjadi seorang dokter tak akan pernah mati. Entah dengan bekerja terlebih dahulu lalu kuliah lagi, atau berharap, suatu hari ada donatur yang bersedia membiayaiku, dan aku akan mengembalikan biaya itu kelak ketika aku sudah berhasil mewujudkan impian itu. Semoga Tuhan mendengar doaku.”

Aku tertarik mengetahui lebih jauh tentang hal ini. Lalu aku bertanya padanya :

“Jadi,cita-citamu dokter ?”

Sebentar ia menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. Hal ini kontras sekali dengan ketegarannya ketika bercerita tentang kepahitan hidup dan keluarganya. Dengan suara yang bergetar dan sesekali serak kacau ia berkata :

“Iya ibu. Saya ingin sekali menjadi dokter. Bahkan saya tetap mencoba ikut tes di PTN, dan kemarin diterima. Tapi …”

Suaranya tercekat. Aku terpana melihat perubahan sikapnya dari seorang yang tegar menjadi begitu rapuh.

“Apa yang membuatmu ingin menjadi dokter,” selidikku.

“Saya ingat, ketika ibu sakit dan kami tidak punya uang untuk berobat,” tuturnya dengan suara parau sambil tertunduk.

“Dan saya, melihat, begitu banyak orang miskin yang ingin berobat, tapi sering ditolak rumah sakit karena biaya,” lanjutnya lirih.

“Apakah kamu masih ingin menjadi seorang dokter,” tanyaku.

“Sangat, bu” jawabnya. “Mungkin saya harus jalani di bidang ini dulu, tapi saya tak kan berhenti mewujudkan impian saya.”

Kutarik nafas dalam-dalam dan membuang muka, sambil menahan airmata yang nyaris jatuh.

“Baiklah, tetaplah bermimpi dan wujudkan impianmu. Terus berharap dan berusaha, dan alam akan membantumu mewujudkan impian itu. Ibu berdoa untukmu.” Aku mengakhiri wawancara siang itu.

Ah….

Ternyata bagi seorang anak, gagalnya sebuah impian lebih buruk dari kepahitan hidup



Semarang,7 Agustus 2014





Read more: http://baltyra.com/2014/08/08/perjuangan-anak-bangsa-mengenyam-pendidikan-impian-yang-tertunda/#ixzz3Bf1Db4Kh

Read more: http://baltyra.com/2014/08/08/perjuangan-anak-bangsa-mengenyam-pendidikan-impian-yang-tertunda/#ixzz3Bf0Z2uLs

read more