Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Halaman

Rabu, 05 Oktober 2011

Perubahan Muatan Kurikulum Di Indonesia (Sebuah Harapan)

Rabu, 05 Oktober 2011

Mataku menelusuri kalimat demi kalimat dalam sebuah berita tentang Pendidikan. Hal yang pernah dan mungkin bisa dikatakan sampai saat ini masih kugeluti. Carut marut pendidikan di Indonesia yang sungguh menjadi keprihatinanku dalam ketidakberdayaanku harus melakukan apa. Jikapun aku protes aku tak bisa memberikan solusi dan menuntut apa karena keterbatasan pengetahuanku tentang pendidikan dan kurikulumnya.

Kubaca lagi berulang – ulang judul berita itu. “Dinas Pendidikan Melarang PAUD dan TK mengajar Calistung”. Dalam benakku dan mungkin benak para ibu dan juga pelaku pendidikan lainnya bertanya-tanya, bagaimana mungkin CALISTUNG tidak boleh diajarkan di pendidikan pra sekolah, sementara kurikulum SD kelas satu sudah begitu gemuk dan penuh dengan hapalan sampah????

Lalu kuletakkan Koran itu dan kubuka laptop ku untuk sekedar mencari referensi tentang pendidikan. Aku berselancar ke website Ayah Edi yang juga menggeluti dunia pendidikan. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul Sekolah Beo, Ayah Edi mengatakan bahwa di Negara – Negara maju Calistung baru diajarkan di kelas tiga SD. Artinya di tingkat sebelumnya siswa hanya bermain dan mengasah kreatifitas dan motoriknya saja. Lalu aku teringat sebuah tayangan televisi tentang suatu perlombaan ketrampilan ala Jepang. Saat host memberikan pertanyaan perkalian, para peserta yang sudah berumur sekalipun terlihat kesulitan menjawab dengan cepat. Ini tentu sangat berbeda dengan siswa Indonesia yang dituntut hafal perkalian mulai kelas 2 SD. Simak jawaban sang peserta saat ditanya mengapa sulit menjawab soal perkalian, “Buat apa ada kalkulator kalau kita harus menghafal perkalian saja.” Hemmmmm betul juga ya! Kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?

Kulanjutkan membaca artikel Ayah Edi dengan seksama. Dikatakan dalam artikel tersebut, menurut penelitian ilmiah anak usia dini baru bisa memfokuskan organ visualnya pada obyek tiga dimensi. Dan jika dipaksakan untuk belajar CALISTUNG, maka ia akan mengalami gangguan visual lebih dini. Masih dalam artikel itu dikatakan, kemampuan seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu kemampuan kreatif, nalar dan terakhir adalah mengingat. Kemampuan mengingata adalah merupakan pelengkap dan alami. Sisanya adalah merupakan kemampuan yang utama yang akan membantu seseorang untuk mencapai sukses di kehidupannya kelak. Kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi oleh kreatifitas dan nalarnya daripada daya ingat saja.

Seringkali saya merasa dongkol, menghadapi guru yang mematikan kreatifitas anak. Ketika memberi ulangan anak, jawaban harus sama dengan catatan yang diberikan. Jika anak menjawab benar sesuai dengan bahasa anak  - anak dan kreatifitasnya, tapi tidak sama dengan catatan, maka, tiada ampun disalahkan, dengan dalih tidak sesuai catatan. Sungguh ironis dan menyedihkan.

Saya jadi teringat celotehan seorang teman, bahwa sekolah adalah justru merupakan institusi yang paling tidak mendidik. Tak heran jika mentalitas bangsa kita ini semakin merosot. Bagaimana tidak jika untuk berpakaian dan menjawab soal pun kita sudah diseragamkan. Juga pelajaran agama/religiusitas dan bidang studi yang mengasah ketrampilan justru mendapat jam paling sedikit. Dan sebaliknya, mata pelajaran penuh hafalan sampah mendapatkan jam yang banyak.  Saya cukup terkejut menyadari pelajaran yang saya pelajari dulu di kelas lima ternyatasekarang sudah diterima anak kelas 3 SD. Huffffftttt mengerikan! Lalu untuk apa dan kepentingannya apa anak SD kelas 3 sudah diajari hal – hal yang cukup berat itu.

Sedih rasanya melihat anak – anak sekarang kehilangan waktu bermain. Jam belajar mereka seperti jam kerja orang tua mereka bahkan lebih. Tak heran anak – anak sekarang kehilangan kreatifitas dan keceriaan mereka. Banyak anak mudah stress, manja dan tidak tangguh.
Dari seluruh keluhan saya diatas, saya hanya bisa berharap adanya perombakan muatan kurikulum di Indonesia. Saya kira pengutamaan kreatifitas sangat penting agar jumlah pengangguran dapat dikurangi.  Diharapkan dengan kreatifitas yang terus menerus diasah kita dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.

Selain itu penanaman  religiusitas yang memadai agar angka korupsi dan terorisme dapat ditekan kalau memang tidak bisa dihilangkan. Hafalan – hafalan sampah tak perlu diajarkan dan masih banyak lagi harapan – harapan yang tak bisa diungkapkan dengan kata – kata.

Semoga ada ahli pendidikan yang mau menyumbangkan pikirannya dan kita juga mau belajar dari negara – negara maju atas keberhasilan pendidikan di Negara mereka. Saya juga berharap pemerintah merubah Kurikulum yang ada menjadi suatu kurikulum yang cerdas dan berkesinambungan, bukan kurikulum yang setiap ganti kabinet juga mengganti kurikulumnya. Cukuplah sudah rakyat menjadi korban dari sebuah kepentingan…..Semoga!!!!

Semarang 4 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar