Mataku menelusuri
kalimat demi kalimat dalam sebuah berita tentang Pendidikan. Hal yang pernah
dan mungkin bisa dikatakan sampai saat ini masih kugeluti. Carut marut
pendidikan di Indonesia yang sungguh menjadi keprihatinanku dalam
ketidakberdayaanku harus melakukan apa. Jikapun aku protes aku tak bisa
memberikan solusi dan menuntut apa karena keterbatasan pengetahuanku tentang
pendidikan dan kurikulumnya.
Kubaca lagi berulang
– ulang judul berita itu. “Dinas Pendidikan Melarang PAUD dan TK mengajar Calistung”.
Dalam benakku dan mungkin benak para ibu dan juga pelaku pendidikan lainnya
bertanya-tanya, bagaimana mungkin CALISTUNG tidak boleh diajarkan di pendidikan
pra sekolah, sementara kurikulum SD kelas satu sudah begitu gemuk dan penuh
dengan hapalan sampah????
Lalu kuletakkan
Koran itu dan kubuka laptop ku untuk sekedar mencari referensi tentang
pendidikan. Aku berselancar ke website Ayah Edi yang juga menggeluti dunia
pendidikan. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul Sekolah Beo, Ayah Edi mengatakan
bahwa di Negara – Negara maju Calistung baru diajarkan di kelas tiga SD.
Artinya di tingkat sebelumnya siswa hanya bermain dan mengasah kreatifitas dan
motoriknya saja. Lalu aku teringat sebuah tayangan televisi tentang suatu
perlombaan ketrampilan ala Jepang. Saat host memberikan pertanyaan perkalian,
para peserta yang sudah berumur sekalipun terlihat kesulitan menjawab dengan
cepat. Ini tentu sangat berbeda dengan siswa Indonesia yang dituntut hafal
perkalian mulai kelas 2 SD. Simak jawaban sang peserta saat ditanya mengapa
sulit menjawab soal perkalian, “Buat apa ada kalkulator kalau kita harus
menghafal perkalian saja.” Hemmmmm betul juga ya! Kalau bisa dipermudah mengapa
dipersulit?
Kulanjutkan membaca
artikel Ayah Edi dengan seksama. Dikatakan dalam artikel tersebut, menurut
penelitian ilmiah anak usia dini baru bisa memfokuskan organ visualnya pada
obyek tiga dimensi. Dan jika dipaksakan untuk belajar CALISTUNG, maka ia akan
mengalami gangguan visual lebih dini. Masih dalam artikel itu dikatakan,
kemampuan seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu kemampuan kreatif, nalar dan terakhir
adalah mengingat. Kemampuan mengingata adalah merupakan pelengkap dan alami.
Sisanya adalah merupakan kemampuan yang utama yang akan membantu seseorang
untuk mencapai sukses di kehidupannya kelak. Kesuksesan seseorang sangat
dipengaruhi oleh kreatifitas dan nalarnya daripada daya ingat saja.
Seringkali saya
merasa dongkol, menghadapi guru yang mematikan kreatifitas anak. Ketika memberi
ulangan anak, jawaban harus sama dengan catatan yang diberikan. Jika anak
menjawab benar sesuai dengan bahasa anak
- anak dan kreatifitasnya, tapi tidak sama dengan catatan, maka, tiada
ampun disalahkan, dengan dalih tidak sesuai catatan. Sungguh ironis dan
menyedihkan.
Saya jadi teringat
celotehan seorang teman, bahwa sekolah adalah justru merupakan institusi yang
paling tidak mendidik. Tak heran jika mentalitas bangsa kita ini semakin
merosot. Bagaimana tidak jika untuk berpakaian dan menjawab soal pun kita sudah
diseragamkan. Juga pelajaran agama/religiusitas dan bidang studi yang mengasah
ketrampilan justru mendapat jam paling sedikit. Dan sebaliknya, mata pelajaran
penuh hafalan sampah mendapatkan jam yang banyak. Saya cukup terkejut menyadari pelajaran yang
saya pelajari dulu di kelas lima ternyatasekarang sudah diterima anak kelas 3
SD. Huffffftttt mengerikan! Lalu untuk apa dan kepentingannya apa anak SD kelas
3 sudah diajari hal – hal yang cukup berat itu.
Sedih rasanya
melihat anak – anak sekarang kehilangan waktu bermain. Jam belajar mereka
seperti jam kerja orang tua mereka bahkan lebih. Tak heran anak – anak sekarang
kehilangan kreatifitas dan keceriaan mereka. Banyak anak mudah stress, manja
dan tidak tangguh.
Dari seluruh keluhan
saya diatas, saya hanya bisa berharap adanya perombakan muatan kurikulum di
Indonesia. Saya kira pengutamaan kreatifitas sangat penting agar jumlah
pengangguran dapat dikurangi. Diharapkan
dengan kreatifitas yang terus menerus diasah kita dapat menciptakan lapangan
kerja sendiri.
Selain itu penanaman religiusitas yang memadai agar angka korupsi
dan terorisme dapat ditekan kalau memang tidak bisa dihilangkan. Hafalan –
hafalan sampah tak perlu diajarkan dan masih banyak lagi harapan – harapan yang
tak bisa diungkapkan dengan kata – kata.
Semoga ada ahli
pendidikan yang mau menyumbangkan pikirannya dan kita juga mau belajar dari
negara – negara maju atas keberhasilan pendidikan di Negara mereka. Saya juga
berharap pemerintah merubah Kurikulum yang ada menjadi suatu kurikulum yang
cerdas dan berkesinambungan, bukan kurikulum yang setiap ganti kabinet juga
mengganti kurikulumnya. Cukuplah sudah rakyat menjadi korban dari sebuah
kepentingan…..Semoga!!!!
Semarang 4 Oktober
2011
0 komentar:
Posting Komentar