3 tahun sudah anakku bersekolah di
sekolah berasrama. Letaknya di kota
Muntilan, dan nama sekolahnya adalah SMA Pangudi Luhur Van Lith.
Dalam proses belajarnya sekolah
mempunyai beberapa program besar “Belajar di luar kelas” : 1.Live In atau bisa
juga disebut home stay. Program ini dilaksanakan saat siswa kelas X. Dalam
program ini anak-anak belajar hidup, mengalami situasi yang dalam hal ini
adalah situasi kemiskinan desa. Kemiskinan di desa tentu tidak sama dengan
kemiskinan di kota
. Kemiskinan di desa (yang saya maksud disini adalah desa dekat-dekat Muntilan
dan Magelang) biasanya, walau mereka miskin tetapi untuk makan tiga kali mereka
masih mampu, tinggal mengambil apa yang ada di sekitar rumah. Tahu sendirilah Indonesia kan
kaya raya.
2. Retret Kesadaran dan
Keterlibatan Sosial. Program sekolah ini dilaksanakan biasanya saat mereka
kelas XI, saat kakak-kakak kelasnya sedang menghadapi Ujian Nasional/Sekolah.
Untuk Program ini, sekolah menggandeng Orang tua murid yang disebut FKMPP dan
alumnusnya yang tergabung dalam PAVALI, di Kota Besar sekitar Muntilan :
Yogyakarta, Solo, Semarang
, Magelang, dan Temanggung.
Kebetulan (dulu) aku sebagai
koordinator untuk kota Semarang , ikut ambil bagian dalam program
ini. Dalam program ini siswa diajak untuk berbela rasa pada kaum miskin, lemah,
tersingkir serta difabel atau cacat. Biasanya sekolah membuat evaluasi terhadap
sikap, sifat dan perilaku anak selama di asrama. Kemudian, mereka akan diolah
dalam beberapa kriteria. Misalnya saja Pengolahan hati, artinya, anak dinilai
kurang memiliki kepekaan, sehingga mereka perlu diolah hatinya. Untuk
pengolahan hati biasanya mereka kami titipkan di Panti-Panti Asuhan atau
rehabilitasi. Pengolahan yang kedua, adalah Fisik. Dalam pengolahan ini
biasanya siswa dinilai kurang giat, sehingga perlu untuk diolah fisiknya,
belajar pada kaum miskin, sulit serta kerasnya hidup sehingga mereka tak mudah
berpangku tangan.
Pengolahan yang ketiga, adalah
Ekonomi. Dalam pengolahan ini biasanya siswa dinilai kurang mampu mengelola
uang. Mereka akan dititipkan pada orang-orang miskin, agar mampu, mengalami,
melihat dan akhirnya berefleksi betapa berharganya uang sehingga mereka tidak
mudah menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang kurang berguna. Rambu-rambu
yang diberikan sekolah kepada kami untuk membantu mencarikan tempat-tempat itu
adalah bahwa keluarga yang akan diikuti adalah keluarga miskin, rumahnya
diharapkan tidak mempunyai elektronik yang mewah dan lantainya tidak keramik.
Rumahnya tipe sangat sangat sederhana. Namun dalam pencariannya, karena di
Semarang kami dititipi 50 anak, dan tidak mungkin mencari sebegitu banyak
tempat yang sesuai harapan sekolah, maka pasti ada saja yang sebenarnya tidak
masuk criteria.
3. Orientasi Pekan Profesi Dalam
Orientasi Pekan Profesi ini, biasanya siswa akan ikut orangtua yang sudah
mapan, dan profesinya sesuai dengan cita-cita mereka. Dan biasanya Semarang dititipi 20 Anak
untuk program yang ketiga ini.
Nah, saya akan bercerita perbedaan
mencari tempat pada poin 2 dan 3 tapi di artikel berikutnya ya…….
.
0 komentar:
Posting Komentar